KAMPAR KIRI HULU

Negeri Tigo Selo

Kampar | Minggu, 25 April 2021 - 14:09 WIB

Negeri Tigo Selo
Masyarakat Desa Tanjung Beringin, Rantau Kampar Kiri beraktivitas di Sungai Subayang yang membelah kawasan Rimbang Baling. (KUNNI MASROHANTI/RIAU POS)

Kondisi Sungai Kujano dan kawasan Bukit Barisan ketika itu sudah pasti jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Rimba masih sebenar-benar rimba. Masyarakat memanfaatkan rimba benar-benar sebagai sumber kehidupan; tempat memenuhi sandang dan pangan, secukupnya.  Menebang kayu dengan kapak untuk keperluan membuat rumah serta kayu bakar. Menjerat burung dan rusa atau hewan lainnya hanya untuk kebutuhan makan.

Sudah pasti flora dan fauna di dalamnya masih sangat beragam. Utuh. Banyak. Tidak terusik oleh berbagai kegiatan atau suara-suara mesin chainsaw seperti yang banyak terdengar saat ini, atau bahkan suara tembakan karena perburuan liar. Kujano ketika itu adalah sebuah kampung tempat tinggal yang berada di dalam rimba raya yang kaya dengan flora fauna dan segala isinya. Berada di tengah lembah dengan kawasan perbukitan di seluruh sisinya. Di tengah lembah inilah Sungai Kujano mengalirkan riak-riak kebudayaan penghuninya.


Cerita soal Kujano, sangat banyak versi. Sebagian orang menyebutkan, Kujano hanya nama sebuah sungai. Ada juga yang menyebut hanya kawasan hutan, bukan perkampungan. Ada juga yang menyebut hanya tempat berladang, kalaupun ada rumah, hanya rumah ladang yang menjadi tempat berteduh ketika masyarakat datang berladang, mencari burung untuk makan atau mencari ikan. Tapi, sebagian ada yang menyebutkan, bahwa Kujano memang merupakan sebuah perkampungan. Perbedaan tentang keberadaan Kujano sebagai sebuah kampung atau bukan tergantung kepada siapa yang bercerita.

 

Bermula dari kesalahan

Orang-orang yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, meyakini kalau Kujano memang sebuah perkampungan, tempat nenek moyang mereka pernah hidup di sana, sekitar 400 tahun silam. Waktu yang lama memang. Bahkan keturunan warga asli Kujano banyak yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang tersebut. Datuk Pucuk Desa Aur Kuning, Husen, adalah salah satu keturunan warga asli Kujano. Ia mengaku sebagai generasi ke tujuh. Artinya, peristiwa Kujano terjadi sekitar 400 tahun silam.

Baca Juga : Ngajuk

Kujano bukan kampung biasa. Hampir tidak ada masyarakat di sepanjang Sungai Subayang yang tidak tahu dengan Kujano. Bagi mereka, Kujano adalah luka lama. Kisah tragis yang menimpa nenek moyang mereka. Tak heran, setiap kali Kujano disebut, kebanyakan mereka langsung terperangah. Seolah ada sesutau, ada sebuah peristiwa menakutkan dan tidak pantas untuk disebutkan. Tidak hanya orang tua, para pemuda juga tahu dengan kisah itu.

Husen, menyebutkan dengan jelas,  bahwa Kujano adalah kampung tempat datuknya pernah tinggal dan hidup di sana bersama masyarakat lainnya. Memang, sebelumnya bermula dari peladangan. Artinya, rumah-rumah di sana awalnya merupakan rumah ladang yang kemudian semakin banyak dan menjadi perkampungan. Ketika itu, kondisi hutan masih sangat alami. Masih banyak harimau dan binatang buas lainnya. Suatu ketika, seorang anak muda iseng menangkap anak harimau, lalu memangganggnya. Sejak itu, Kujano sering didatangi harimau yang diduga merupakan induk dari anak harimau tersebut. Semakin sering saja harimau datang ke sana.

Teror harimau terus terjadi siang dan malam. Harimau datang dengan meninggalkan tanda-tanda, seperti jejak, kotoran, suara aum atau pernah juga menampakkan diri secara langsung. Masyarakat tidak lagi merasa aman dan nyaman. Pergi ke rimba mereka takut, ke ladang tidak berani. Keluar rumah juga merasa terancam. Harimau datang benar-benar dekat. Jejaknya semakin banyak, di mana-mana. Suara aumnya semakin sering terdengar, menakutkan. Tak tahan dengan ancaman dan teror harimau yang terus menerus itu, seluruh masyarakat kampung bersepakat memilih pergi dan pindah ke tempat lain. Sungguh Kujano menjadi kisah menakutkan dan tak terlupakan. Hanya karena kesalahan seseorang, mereka semua harus menanggung akibatnya.

Pindah ke Subayang dan Sumbar

Sungai Subayang merupakan jalur terdekat yang bisa ditempuh dari Sungai Kujano. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat yang tinggal di Kujano ketika itu memilih pindah ke tempat ini. Keturunan mereka juga lebih banyak ditemukan di kawasan ini dibandingkan di kawasan lain. Tapi, bukan berarti di tempat lain tidak ada. Sebagian masyarakat Kujano ada juga yang memilih mengungsi ke dareah Sijunjung, Sumbar dan sekitarnya. Termasuk di Desa Mangganti dan Sumpur Kudus.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook