WASHINGTON (RIAUPOS.CO) - Perseteruan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dengan perusahaan teknologi terkemuka Twitter masih berlanjut. Terbaru, Trump menyatakan Twitter sebagai ancaman keamanan nasional AS.
Pernyataan Trump diucapkan setelah tanda pagar #DiaperDon jadi trending topic di Twitter dalam beberapa hari terakhir. Tanda pagar itu muncul sebagai sindiran bagi sikap Trump yang dinilai kekanak-kanakan karena belum mau menerima kekalahan pada Pilpres AS 2020.
Namun, Trump tidak mengatakan topik mana yang membuatnya kesal. Dia hanya menyebut Twitter sebagai platform media sosial yang kerap memunculkan topik-topik tidak relevan.
"Twitter mengirimkan 'tren' yang benar-benar salah dan tidak ada hubungannya dengan apa yang benar-benar sedang tren di dunia. Mereka mengada-ada dan hanya 'barang' negatif," kata Trump dikutip dari The Independent, Ahad (29/11/2020).
"Untuk tujuan keamanan nasional, Bagian 230 harus segera diakhiri," tegasnya.
Perkataan Trump mengacu pada bagian dari undang-undang tahun 1996 yang melindungi situs web dari tuntutan hukum atas konten yang diunggah oleh pengguna. Setiap perubahan pada perlindungan ini akan mengubah cara kerja internet secara mendasar.
MeidasTouch, komite aksi anti-Trump, mengatakan mereka berada di belakang semaraknya topik #DiaperDon di Twitter.
"Kami menjadikan #DiaperDon sebagai tren nomor satu du AS. Trump mengalami kehancuran dan ingin menyatakan tren Twitter sebagai ancaman keamanan nasional," ujarnya.
Sementara itu, pemimpin Twitter, Jack Dorsey pernah mengatakan di masa lalu bahwa meskipun karyawannya mungkin memiliki bias ke kiri, ini tidak memengaruhi cara Twitter membuat keputusan tentang konten di platform-nya.
Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan media sosial sebenarnya lebih melayani kaum konservatif dan untuk menghindari bias politik.
Bukan sekali ini Twitter dan Trump terlibat perseteruan. Di masa kampanye dan pasca-pemilu, Twitter sering menghapus atau menandai sejumlah kicauan Trump yang dianggap menunjukkan kebencian dan kebohongan.
Sumber: The Independent/News/USA Today
Editor: Hary B Koriun