BRUSSEL (RIAUPOS.CO) - Nigel Farage bertepuk tangan saat melihat layar hasil penghitungan cepat pemilihan utusan Inggris untuk parlemen Eropa di Southampton Guildhall pekan lalu (26/5). Lebar senyumnya tak lagi bisa dibendung. Malam itu dia bak selebriti Hollywood yang baru saja menerima piala Oscar.
Wajar jika pria 55 tahun itu senang bukan kepalang. Dia baru saja mengalahkan dua raksasa politik Inggris, Partai Konservatif dan Partai Buruh, dalam sebuah kompetisi politik. Dari 73 kursi parlemen Eropa yang disediakan untuk Britania Raya, Partai Brexit yang didirikannya meraih 29 kursi.
Pencapaian partai yang belum seumur jagung itu bahkan mengalahkan rekor dominasi Konservatif pada Pemilu 2014. Saat itu Konservatif menguasai 26 kursi parlemen Eropa. Kali ini partai yang baru ditinggal Theresa May itu hanya mendapatkan 4 kursi.
”Ini pesan dari masyarakat Inggris. Kalau kita tidak meninggalkan Eropa Oktober ini, hasil yang sama akan terjadi dalam pemilu nasional,” tegas dia kepada Associated Press.
Kemenangan besar Farage menjadi salah satu contoh besar pergeseran arus politik di Benua Biru. Cengkeraman kaum politik moderat di lembaga pengambil kebijakan Uni Eropa sudah melemah. Tren itu tidak hanya terjadi di Inggris.
Di Prancis, Partai En Marche yang dipimpin Presiden Prancis Emmanuel Macron gagal membendung langkah nasionalis Le Pen dan Partai National Rally. Hasilnya memang tipis. Le Pen mendapat 22 kursi, sedangkan Macron memperoleh 21 kursi.
”Ini adalah krisis eksistensi Uni Eropa yang pertama sejak pemilihan pada 1979,” ungkap Macron menurut The Guardian. Perlu diketahui, Le Pen hanya memperoleh 3 kursi di badan legislatif Eropa saat Pemilu 2014.
Rakyat Eropa sepertinya tak ingin lagi kebijakan yang selalu mengambil titik tengah. Kini mereka mencari solusi radikal terhadap permasalahan yang dihadapi Benua Biru tersebut. Karena itu, koalisi politik yang memberikan visi simpel dan tegas langsung mendapatkan simpati.
Koalisi Greens, kumpulan dari partai-partai penyokong isu lingkungan, mendapat 18 kursi baru. Kemudian, posisi koalisi liberal bertambah 38 kursi. Kursi kubu nasionalis dan ekstrem kanan juga bertambah. ”Menurut saya, isu yang dianggap penting pemberi suara adalah soal migrasi dan perubahan iklim,” ujar Holger Schmieding, pengamat ekonomi Berenberg Bank, kepada Agence France-Presse.
Namun, kubu-kubu tradisional belum roboh. Meski berkurang banyak, kubu konservatif yang dipimpin European People Party (EPP) masih memegang kursi terbanyak. Kubu Sosial Demokrat, rekan EPP dalam grand coalition alias koalisi akbar, juga masih mendapatkan 150 kursi.
Jika dihitung, partai yang pro-Eropa masih mengamankan 493 di antara total 751 kursi. Yang menjadi masalah, blok yang harus dilibatkan bakal bertambah banyak. EPP dan Sosial Demokrat harus menggandeng kubu liberal atau Greens jika ingin mengamankan suara mayoritas.
”Kali pertama dalam 40 tahun, dua raksasa politik Eropa, konservatif dan sosialis, tak lagi memegang mayoritas. Otomatis keseimbangan baru akan terbentuk,” ujar Guy Verhofstadt, pemimpin koalisi Liberal, kepada BBC.
Keseimbangan itu akan ditentukan malam ini. Pemimpin 28 negara bakal menghadiri makan malam sekaligus membahas penunjukan pejabat tinggi di parlemen Eropa. Yakni, presiden komisi Eropa, ketua parlemen Eropa, perwakilan tertinggi untuk hubungan internasional, dan kepala bank sentral Eropa.
Kanselir Jerman sudah menjagokan kandidat terkuat Manfred Weber sebagai presiden komisi Eropa. Namun, pencalonan itu ditolak Macron yang baru saja bergabung ke kubu Liberal. ”Karena tak ada mayoritas, kompetisi menjadi lebih terbuka. Mereka harus menemukan sosok yang disetujui banyak blok,” imbuh Sebastien Maillard dari Delors Institute.(bil/c10/dos/jpg)