Rapat Darurat, Cina Undang 100 Ribu Pejabat

Internasional | Jumat, 27 Mei 2022 - 08:39 WIB

Rapat Darurat, Cina Undang 100 Ribu Pejabat
Presiden Cina Xi Jinping (kiri) didampingi Perdana Menteri Cina Li Keqiang serta pejabat lainnya menyapa peserta rapat nasional di Aula Besar Rakyat , Beijing, Cina, Rabu (25/5/2022). (XINHUA/SHEN HONG VIA AFP)

BEIJING (RIAUPOS.CO) – Cina mulai merasakan dampak kebijakan nol kasus Covid-19. Utamanya pada sektor perekonomian. Rabu (25/5) kabinet Cina menggelar rapat darurat. Tak tanggung-tanggung, lebih dari 100 ribu pejabat dilibatkan.

Mereka adalah para pejabat dari tingkat pusat hingga daerah. Rapat itu membahas upaya untuk menstabilkan perekonomian yang terpukul karena kebijakan penanganan virus SARS-CoV-2 di negara tersebut.


"Pihak berwenang harus mengambil tindakan untuk mempertahankan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran," ujar Perdana Menteri Cina Li Keqiang seperti dikutil Global Times. Dia dan para pejabat tinggi lainnya hadir dalam rapat yang digelar secara online tersebut.

Li mengungkapkan, dalam beberapa aspek, lockdown pada Maret dan April telah melampaui dampak ekonomi tahun 2020, ketika awal Covid-19 merebak. Ada beberapa indikator yang dipakai acuan. Mulai dari angka pengangguran ditambah tingkat produksi industri dan transportasi kargo yang rendah.

Belakangan ini Li memang menjadi lebih vokal menyoroti penurunan perekonomian di negaranya. Pada awal Mei lalu, dia menyebut situasinya kompleks dan serius. Paparannya dalam rapat Rabu itu merupakan gambaran yang tersuram.

"Kita sekarang berada pada titik kritis dalam menentukan tren ekonomi sepanjang tahun ini. Kita harus memanfaatkan kesempatan yang ada dan berusaha membawa ekonomi kembali ke jalur normal," tegasnya.

Rapat massal itu digelar setelah pertemuan eksekutif Dewan Negara pada Senin (23/5). Hasil rapat mengungkap 33 langkah ekonomi baru. Diantaranya, meningkatkan pengembalian pajak, memperpanjang pinjaman untuk usaha kecil serta dana pinjaman darurat pada industri penerbangan yang terpuruk selama pandemi. Selain itu juga ada kebijakan untuk melonggarkan aturan Covid-19.

Li mendesak agar semua departemen pemerintahan mengimplementasikan 33 langkah tersebut mulai akhir Mei ini. "Dewan negara akan mengirimkan satgas ke 12 provinsi mulai Kamis untuk mengawasi peluncuran kebijakan ini," ujarnya seperti dikutip Xinhua.

Pemerintah Cina layak khawatir. Perbankan investasi memangkas perkiraan perekonomian Cina tahun ini. UBS misalnya telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB tahunan penuh menjadi hanya 3 persen. Padahal, pemerintah telah menyatakan bahwa mereka mengharapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen tahun ini.

Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut melaporkan pertumbuhan hingga 8,1 persen tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi dengan laju paling lambat dalam beberapa dekade terjadi pada 2020 yang hanya 2,3 persen.

Berbeda dengan awal pandemi ketika pemerintah Cina hanya mengkuntara Wuhan dan sekitarnya, kini yang di-lockdown adalah Shanghai dan Beijing. Keduanya adalah kota megapolitan yang merupakan jantung perekonomian di negeri tirai bambu.

Alibaba menjadi contoh nyata dampak kebijakan ketat Covid-19. Raksasa e-commerce Cina tersebut mengumumkan penurunan laba 59 persen pada tahun fiskal terakhir. Pada kuartal Januari-Maret, kerugian bersih mencapai 16,2 miliar yen atau setara dengan Rp35,13 triliun.

Terpisah, invasi Rusia ke Ukraina juga berdampak lebih luas. Kepala Bank Dunia David Malpass memperingatkan bahwa invasi tersebut bisa memicu resesi global. Itu karena harga pangan, energi dan pupuk terus merangkak naik. "Saat kita melihat PDB global, sulit untuk melihat bagaimana kita bisa menghindari resesi," ujar Malpass seperti dikutip BBC.

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah ukuran pertumbuhan ekonomi. Ini adalah salah satu cara terpenting untuk mengukur seberapa baik atau buruk kinerja ekonomi. Hal itu diawasi ketat oleh para ekonom dan bank sentral.

Malpass tidak memberikan paparan secara spesifik dalam angka. Namun menurutnya jika harga energi naik dua kali lipat maka itu sudah cukup untuk memicu resesi dengan sendirinya. Bulan lalu, Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk tahun ini menjadi 3,2 persen saja.(sha/bay/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook