GAZA (RIAUPOS.CO) – Pasukan militer Israel (IDF) telah membawa pertang ke gerbang depan Rumah Sakit Al-Shifa yang merupakan kompleks rumah sakit terbesar di Gaza. Ribuan orang yang terluka dan terlantar yang berada di Rumah Sakit Al-Shifa, terjebak di tengah-tengah pemboman yang semakin ganas.
Dilansir dari media asing, Al Jazeera, Muhammad Abu Salmiya selaku Direktur Rumah Sakit Al-Shifa mengatakan bahwa mereka hanya beberapa menit lagi menuju kematian. Hal itu diungkapkan Abu Salmiya yang berada di dalam fasilitas yang terkepung pada hari Sabtu (11/11). Pada hari itu pula, seluruh operasi di rumah sakit harus dihentikan akibat kehabisan listrik dan bahan bakar.
Gedung Rumah Sakit Al-Shifa juga dijadikan sasaran, siapa pun yang bergerak di dalam kompleks rumah sakit akan diserang oleh penembak jitu pasukan militer Israel.
“Salah satu anggota kru medis yang mencoba mencapai inkubator untuk memberikan bantuan kepada bayi yang baru lahir, ditembak dan dibunuh,” ungkap Abu Salmiya.
“Kami kehilangan seorang bayi di inkubator, dan seorang pemuda di unit perawatan intensif,” tambahnya.
Menurut Abu Salmiya, di Rumah Sakit Al-Shifa setidaknya ada 39 bayi baru lahir yang berada di inkubator dan bayi-bayi itu tengah berjuang melawan kematian.
Rumah Sakit AL-Shifa yang dibangun sejak 1946 merupakan fasilitas umum yang telah menjadi penyelamat bagi masyarakat yang mencari intervensi medis mendesak.
Ribuan orang yang kehilangan rumah akibat pemboman yang dilakukan oleh Israel, juga tinggal di koridor dan halaman rumah sakit. Israel mengklaim bahwa Rumah Sakit Al-Shifa memberikan perlindungan bagi pusat komando Hamas dan tuduhan tersebut dibantah oleh direktur rumah sakit. Hamas juga menolak klaim tersebut.
Fabrizio Carboni, Direktur The Red Cross mengatakan bahwa Al-Shifa dalam kondisi yang menyedihkan. Ribuan orang di kompleks tersebut perlu dilindungi sesuai dengan hukum perang.
Monir al-Bashr, Wakil Menteri Kesehatan di Gaza, berbicara kepada tim Al Jazeera dari dalam rumah sakit, dia mengatakan bahwa orang-orang terpaksa menggali dengan tangan mereka untuk menguburkan jenazah di dalam kompleks rumah sakit.
“Kami dikepung, kami tidak bisa menguburkan jenazah kami. Kami akan membuat kuburan massal di dalam kompleks rumah sakit,” ungkapnya.
“Kami tidak memiliki peralatan atau mesin untuk menggali kuburan, tapi kami harus menguburkan jenazah-jenazah ini, karena jika tidak, epidemi akan merebak.”
Ketika pertempuran semakin ekstrem di gerbang depan rumah sakit, menurut Abu Salmiya keadaanya menjadi suram.
“Kami benar-benar terputus dari seluruh dunia. Kami terdampar. Kami telah mengirim banyak SOS ke seluruh dunia, tapi tidak ada tanggapan,” lanjutnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman