GAZA CITY (RIAUPOS.CO) - ’’Saya ingin mengatakan kepada dunia, ini krisis kemanusiaan. Ini genosida. Tolong hentikan ini.’’ Permintaan memilukan itu diucapkan dokter Mohammed Ghneim, yang bertugas di unit gawat darurat Rumah Sakit (RS) Al-Shifa, kepada CNN.
Saat ini kompleks fasilitas medis terbesar di Gaza itu menjadi tumpuan utama selama perang Israel-Palestina berlangsung sebulan terakhir. Sepanjang hari, Ghneim dan seluruh tim medis harus menyaksikan kengerian yang tak terbayangkan.
Bayi yang harus dikeluarkan paksa dari perut ibu yang sekarat akibat bom, pasien yang datang dengan kondisi sudah tidak utuh, hingga anak-anak yang tak bisa lagi bernapas setelah paru-parunya terluka tertimpa bangunan.
’’Situasinya sangat buruk. Tidak ada yang bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata atau bahasa apa pun. Kami dilatih untuk menangani korban massal, tapi tidak seperti ini,’’ tambah Ghneim. Dalam merawat para korban perang itu, tidak ada anestesi untuk operasi maupun obat penghilang rasa sakit.
Situasi kian memburuk sejak Sabtu (11/11). Tank-tank Israel mengepung RS Al-Shifa. Serangan udara Israel menghancurkan generator rumah sakit. Aliran listrik ke gedung pun terputus. Padahal, saat itu ada 39 bayi prematur yang baru lahir dan harus berada di inkubator. Tiga di antaranya pun meninggal. Bangsal jantung di RS tersebut juga hancur akibat serangan Israel.
Direktur Al-Shifa Muhammad Abu Salmiya mengatakan, penembak jitu Israel menyerang siapa pun yang bergerak di dalam kompleks rumah sakit. Selain itu, sebuah mortir mengenai unit perawatan intensif. ’’Salah satu anggota kru medis yang mencoba mencapai inkubator, untuk memberikan bantuan kepada bayi yang berada di sana, telah ditembak dan dibunuh,’’ ujarnya, seperti dikutip Al Jazeera.
Di sisi lain, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membantah telah mengepung RS Al-Shifa. Mereka menyebut pertempuran terjadi di area itu lantaran Hamas bersembunyi di terowongan di bawah gedung RS Al-Shifa. Namun, pernyataan itu dibantah Hamas dan para dokter di rumah sakit tersebut. Israel juga menawarkan untuk mengevakuasi para bayi. Tapi, di fasilitas kesehatan itu bukan hanya ada bayi, melainkan juga ratusan korban luka dan penduduk yang berlindung.
Selama 48 jam terakhir, IDF juga menyerang fasilitas medis lainnya. Di antaranya, RS Al Nasr dan RS Pediatrik Al-Rantisi. Belakangan, RS Al Quds juga harus berhenti beroperasi karena sudah tidak memiliki bahan bakar untuk generator listrik.
Lembaga Dokter Lintas Batas (MSF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan telah kehilangan kontak dengan staf di RS Al-Shifa. Ambulans dari fasilitas itu juga tak lagi berkeliling untuk menjemput korban luka di lapangan karena pengeboman tanpa henti yang membahayakan nyawa siapa pun yang bergerak di jalan. ’’WHO sangat prihatin dengan keselamatan petugas kesehatan, ratusan pasien yang sakit dan terluka, bayi yang membutuhkan alat bantu hidup, dan pengungsi yang masih berada di rumah sakit,’’ jelas Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Akhirnya Presiden Prancis Desak Israel Berhenti
Meski situasi Gaza kian memprihatinkan, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu masih kukuh untuk tidak berhenti menyerang sampai menang. Meski seruan gencatan senjata meluas dari belahan dunia, sejauh ini Netanyahu tetap bergeming.
’’Perang melawan Hamas berlangsung dengan kekuatan penuh dan tujuannya hanya satu, yaitu menang. Tidak ada alternatif selain kemenangan,’’ ujarnya Sabtu (11/11) malam dalam siaran televisi.
Saat ini, Israel justru menyalahkan Komite Palang Merah Internasional, WHO, dan kantor PBB untuk koordinasi urusan kemanusiaan di wilayah pendudukan Palestina atas banyaknya korban jiwa. Lembaga-lembaga itu dinilai tidak mendukung evakuasi penduduk dari utara ke selatan.
’’Selama sebulan, mereka menolak mendukung evakuasi dari utara. Kini mereka membahayakan semua orang dengan mengharuskan evakuasi tergesa-gesa di tengah peperangan perkotaan,’’ ujar Eylon Levi, juru bicara pemerintah Israel, seperti dikutip The Guardian. Padahal, kenyataan di lapangan, warga yang sudah mengungsi ke selatan tetap dibom oleh IDF. Termasuk di Rafah dan Khan Younis.
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi pemimpin negara Barat pertama yang menyerukan gencatan senjata. Dalam wawancara dengan BBC, pihaknya meminta Israel agar berhenti mengebom warga sipil. Terutama anak-anak dan perempuan.
Dia mengakui, Israel berhak membela diri. Namun, tidak ada pembenaran untuk pembunuhan warga sipil. Gencatan senjata juga diyakini bakal menguntungkan Israel. ’’Secara de facto saat ini, warga sipil dibom. Bayi-bayi, perempuan, orang-orang tua dibom dan dibunuh. Tidak ada alasan untuk itu dan tidak ada legitimasi. Kami mendesak Israel untuk berhenti,’’ tegas Macron.
Terbelah soal Sanksi ke Israel
Negara-negara Teluk dan muslim satu suara dalam mengecam Israel. Namun, mereka terbelah terkait hukuman ekonomi dan politik yang harus diterapkan pada negeri yang dipimpin oleh Pedana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu tersebut.
Hal itu terungkap dalam hasil pertemuan puncak gabungan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Riyadh, Arab Saudi, pada Sabtu (11/11). ’’Otoritas pendudukan (Israel) harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina,’’ ujar penguasa de facto Arab Saudi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) saat membuka KTT seperti dikutip Agence France-Presse.
Sebelum perang pecah, Amerika Serikat (AS) menjadi mediator agar Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel. MBS menambahkan bahwa satu-satunya cara untuk menjamin keamanan, perdamaian, dan stabilitas di kawasan Palestina adalah dengan mengakhiri pendudukan, pengepungan, dan pembangunan permukiman ilegal Israel.
Presiden Iran Ebrahim Raisi juga hadir dalam KTT tersebut. Itu adalah perjalanan pertamanya ke Arab Saudi sejak kedua negara memperbaiki hubungan pada Maret lalu. Dia menjadi presiden Iran pertama yang menginjakkan kaki di Arab Saudi sejak Mahmoud Ahmadinejad menghadiri pertemuan OKI di kerajaan tersebut pada 2012. Raisi mengatakan bahwa negara-negara Islam harus menyebut tentara Israel sebagai organisasi teroris atas tindakannya di Gaza.
Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad Al Thani mempertanyakan sampai kapan masyarakat internasional akan memperlakukan Israel seolah-olah berada di atas hukum internasional. ’’Siapa yang bisa membayangkan bahwa rumah sakit akan dikepung publik pada abad ke-21?’’ ujarnya.
Kini beberapa rumah sakit di Gaza sudah jadi medan perang. Termasuk rumah sakit terbesar Al Shifa yang berada di Gaza City. Israel membuka koridor untuk evakuasi pasien dari RS-RS yang diserang ke wilayah utara. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, masih ada 1.500 pasien di Rumah Sakit Al-Shifa bersama dengan 1.500 tenaga medis dan 15 ribu–20 ribu orang yang mencari perlindungan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pada pertemuan puncak tersebut sangat disayangkan bahwa negara-negara Barat, yang selalu berbicara tentang hak asasi manusia dan kebebasan, tetap diam dalam menghadapi pembantaian yang sedang berlangsung di Palestina. ’’AS harus meningkatkan tekanan pada Israel. Negara-negara Barat juga harus melakukan hal serupa. Itu penting untuk merealisasikan gencatan senjata,’’ ujar Erdogan usai-KTT.
Israel dan pendukung utamanya, AS, sejauh ini menolak tuntutan gencatan senjata. Padahal, korban jiwa di Jalur Gaza sudah lebih dari 11 ribu orang yang didominasi oleh perempuan dan anak-anak.
KTT OKI dan Liga Arab seharusnya dilakukan terpisah. Keduanya akhirnya digabung setelah delegasi Liga Arab gagal mencapai kesepakatan mengenai pernyataan akhir. Beberapa negara, termasuk Aljazair dan Lebanon, mengusulkan untuk menanggapi kehancuran di Gaza dengan mengancam akan membatasi pasokan minyak ke Israel dan sekutunya serta memutuskan hubungan ekonomi dan diplomatik yang dimiliki beberapa negara Liga Arab dengan Israel.
Namun, setidaknya tiga negara menolak proposal tersebut. Dua di antaranya adalah Uni Emirat Arab dan Bahrain yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020. Sebelum KTT, kelompok Jihad Islam Palestina mengatakan, mereka tidak mengharapkan apa pun dari pertemuan tersebut. Kelompok itu mengkritik para pemimpin Arab atas lambatnya respons mereka.
Presiden Palestina Titip Pesan lewat Jokowi
Dalam pada itu, lawatan Presiden Joko Widodo di Arab Saudi banyak membahas soal konflik Palestina dan Israel. Selain mengikuti konferensi tingkat tinggi (KTT) luar biasa Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Jokowi juga melakukan pertemuan bilateral dengan beberapa pemimpin negara.
Kemarin (12/11) Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangan persnya menjelaskan rencana awalnya akan dilakukan dua KTT secara terpisah. Yakni KTT liga Arab dan KTT OKI. “Namun untuk memberikan pesan yang kuat kepada dunia maka diputuskan bahwa kedua KTT tersebut digabung pelaksanaannya menjadi join summit,” ucapnya.
Retno menyebut, Presiden Jokowi merupakan salah satu pemimpin dunia yang langsung menyampaikan akan hadir. Padahal undangan cukup mendadak, yakni pada 6 November lalu. Alasannya KTT ini dinilai penting untuk menunjukkan soliditas negara-negara OKI. “Dan untuk menemukan upaya tambahan agar kekejaman Israel kepada Palestina segera diselesaikan,” kata Retno.
Dalam kesempatan itu, Jokowi mencontohkan kekejaman Israel. Yakni dengan menyerang RS Indonesia di Palestina. Sehingga rumah sakit ini kehabisan bahan bakar dan tidak maksimal dalam melayani korban perang. Jokowi dalam KTT tersebut menyampaikan bahwa OKI harus bersatu dan berada di depan untuk penyelesaian situasi di Gaza. Kepala Negara juga memberi saran konkrit, yakni gencatan senjata harus segera dilakukan. “Alasan Israel untuk self defense tidak dapat diterima. Ini merupakan colletive punishment,” kata Retno.(sha/c6/ttg /lyn/hud/das)
Laporan JPG, Gaza City