ISLAMABAD (RIAUPOS.CO) – Kerusakan akibat banjir di Pakistan terbilang masif. Sekjen PBB Antonio Guterres bahkan tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan skala kehancuran yang terjadi di sana. Setidaknya 1.391 orang meninggal akibat banjir di berbagai titik sejak pertengahan Juni itu.
’’Saya telah melihat banyak bencana kemanusiaan di dunia, tetapi saya belum pernah melihat bencana iklim dalam skala ini,’’ ujar Guterres ketika mengunjungi salah satu wilayah terdampak di Karachi Sabtu (10/9) seperti dikutip Agence France-Presse.
Hujan lebat yang merusak pertanian sudah biasa terjadi di Pakistan. Namun, hujan deras seperti tahun ini belum pernah terlihat selama beberapa dekade. Pada saat bersamaan, gletser yang mencair dengan cepat di utara selama berbulan-bulan menambah tekanan pada saluran air. Akibatnya, banjir bandang terjadi di mana-mana. Hampir sepertiga wilayah Pakistan tenggelam. Itu setara dengan luas Inggris.
Sekitar 2 juta rumah dan tempat usaha hancur, jalan sepanjang 7.000 kilometer rusak, dan 500 jembatan runtuh. Ratusan ribu orang terpaksa meninggalkan rumah. Versi pemerintah Pakistan, bencana banjir itu berdampak pada kehidupan 33 juta orang. Kerusakannya diperkirakan mencapai USD 30 miliar atau setara dengan Rp 444,98 triliun.
’’Negara-negara kaya secara moral bertanggung jawab untuk membantu negara-negara berkembang seperti Pakistan untuk pulih dari bencana seperti ini dan beradaptasi untuk membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang sayangnya akan terulang di masa depan,’’ terang Guterres.
Dia menegaskan bahwa negara-negara G20 adalah penyumbang 80 persen masalah emisi global. Pakistan, di pihak lain, hanya menyumbang 1 persen dari emisi gas rumah kaca. Berdasar daftar yang disusun lembaga Germanwatch, Pakistan berada di urutan ke-8 sebagai negara-negara yang paling rentan terhadap cuaca ekstrem yang disebabkan perubahan iklim. Dengan kata lain, negara kaya yang berbuat, negara berkembang dan miskin yang menerima dampaknya.
’’Ini gila. Ini seperti bunuh diri kolektif,’’ ujar Guterres ketika kali pertama tiba di Pakistan. Dia berharap kunjungannya tersebut bisa memicu pengumpulan dana yang dibutuhkan pemerintah Pakistan.
Guterres menyesalkan kurangnya perhatian dunia terhadap perubahan iklim, khususnya negara-negara industri. Padahal, dampak perubahan itu sudah bisa dirasakan saat ini. Di beberapa negara, gelombang panas ekstrem dan kekeringan terjadi. Di negara lain, hujan lebat dengan intensitas yang tidak biasa membuat orang-orang kewalahan.
Pemerintah Pakistan saat ini sudah kewalahan menangani dampak banjir. Rozina Solangi, salah seorang pengungsi, mengungkapkan bahwa semua orang merasa terpanggang dalam suhu yang begitu terik. Itu disebabkan kamp pengungsian di dekat Sukkur yang mereka tinggali tidak memadai. Pascabanjir, cuaca secara ekstrem berganti menjadi panas menyengat.
’’Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan. Tidak ada atap di kepala kami,’’ keluhnya. Orang-orang dan ternak berdesakan bersama. Kamp-kamp itu menjadi media berjangkitnya penyakit. Saat ini saja sudah banyak kasus demam berdarah serta kudis.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman