INTERNASIONAL

Cerita Wajib Militer Pro-Rusia di Donbas yang Tak Dilatih Bertempur

Internasional | Selasa, 05 April 2022 - 01:30 WIB

Cerita Wajib Militer Pro-Rusia di Donbas yang Tak Dilatih Bertempur
Aktivis pro Rusia. Prajurit wajib militer (wamil) pro Rusia yang dikirim ke garis depan di wilayah Donbas, Ukraina, bertempur tanpa dilatih sebelumnya. (ALEXANDER ERMOCHENKO/REUTERS)

DONBAS (RIAUPOS.CO) – Prajurit wajib militer (wamil) pro-Rusia yang dikirim ke garis depan di wilayah Donbas, Ukraina, bertempur tanpa dilatih sebelumnya. Selain itu, tidak dibekali logistik dan senjata yang layak menurut sejumlah sumber di provinsi separatis itu kepada Reuters.

Informasi tentang kondisi wamil itu menjadi indikasi betapa rapuhnya sumber daya militer yang dikerahkan Kremlin, setelah lebih dari sebulan berperang serta menghadapi masalah logistik dan perlawanan sengit tentara Ukraina.


Salah satunya adalah seorang mahasiswa yang menjalani wamil pada akhir Februari. Dia mengatakan seorang rekan sesama petempur memberi tahu dirinya untuk bersiap menahan serangan jarak dekat pasukan Ukraina di Donbas barat daya. Tapi, dia bahkan tak tahu cara menembak dengan senjata otomatis.

Si mahasiswa dan pasukan membalas serangan dan menghindari penangkapan, tapi dia lalu terluka dalam pertempuran berikutnya. Dia tidak mengatakan di mana pertempuran itu berlangsung. Meskipun informasi tentang kondisi dan mental buruk wamil di Donbas sudah beredar di media sosial dan beberapa media lokal, Reuters berhasil mengumpulkan gambaran lengkap tentang kondisi wamil tersebut.

Selain si mahasiswa tadi, Reuters berbicara dengan tiga istri dari prajurit wamil yang memiliki kontak dengan pasangan mereka lewat ponsel, seseorang yang kenal dengan wamil, dan seorang sumber yang dekat dengan pemimpin pemberontak pro Rusia dan membantu mengatur pasokan di Donbas.

Reuters memastikan identitas sang mahasiswa, juga sumber dan wamil yang berhubungan dengan mereka. Kantor berita itu tidak bisa secara independen memastikan tentang apa yang terjadi pada wamil setelah dikirim ke medan tempur. Keenam sumber meminta agar nama mereka dirahasiakan dengan alasan takut ditindak karena berbicara dengan media asing.

Pasukan Donbas bertempur bersama pasukan Rusia, tapi bukan bagian dari mereka. Kedua pihak memiliki aturan berbeda tentang tentara mana yang mereka kirim ke pertempuran. Sejumlah wamil di Donbas telah dikirim ke garis depan dengan senapan Mosin, yang dikembangkan pada akhir abad ke-19 dan tidak lagi diproduksi sejak puluhan tahun lalu, menurut tiga orang sumber yang melihat para wamil di wilayah separatis memakai senjata itu.

Gambar-gambar beredar di media sosial, yang tidak bisa diverifikasi Reuters secara independen, juga memperlihatkan para petempur Donbas dengan senapan Mosin. Sang mahasiswa mengatakan dirinya terpaksa minum dari kolam berbau busuk karena kehabisan bekal. Dua sumber lain yang berhubungan dengan para wamil juga mengatakan bahwa mereka harus meminum air mentah.

Beberapa wamil Donbas diberi misi sangat berbahaya, menjadi umpan tembakan musuh agar pasukan lain bisa mengetahui posisi tentara Ukraina dan mengebom mereka, menurut seorang sumber dan kesaksian video dari tawanan perang yang dirilis pasukan Ukraina. Saat dimintai komentarnya tentang kondisi wamil di Donbas, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pertanyaan itu adalah untuk Republik Rakyat Donetsk (DNR), entitas separatis yang memproklamasikan kemerdekaan di Donbas.

Kementerian Pertahanan Rusia tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar. Juru bicara DNR, setelah melihat pertanyaan Reuters, mengatakan tak akan ada tanggapan. Dia tidak mengatakan kapan DNR akan memberi jawaban. Pesan-pesan yang dikirim ke juru bicara lainnya tidak dibalas.

Setelah dipaksa berangkat ke garis depan dekat pelabuhan Mariupol, medan pertempuran paling sengit selama perang, sekelompok wamil Donbas berisi 135 orang meletakkan senjata dan menolak bertempur, menurut Veronika, istri seorang wamil yang ada di kelompok itu.

Marina, pasangan wamil yang lain, mengatakan dia menjalin kontak dengan seorang teman dalam kelompok itu.

“Kami menolak (bertempur),” kata temannya lewat pesan teks ke Marina, yang dilihat oleh Reuters.

Para wamil itu kemudian ditahan di ruang bawah tanah oleh komandan mereka sebagai hukuman, kata Veronika dan Marina. Para komandan mengancam mereka secara lisan dengan aksi balasan tapi kemudian mengizinkan mereka keluar dari ruang tersebut, menarik mereka dari garis depan dan menempatkan mereka di rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya kata Veronika.

Baik Kremlin maupun otoritas separatis tidak membalas pertanyaan Reuters tentang insiden tersebut.

 

Tak Dilatih Bertempur

Tak seorang pun dari kelima wamil pernah bertempur atau berlatih tempur, dan empat orang dari mereka tak dilatih sebelum dikirim ke pertempuran, menurut wamil yang terluka, tiga istri wamil, dan rekan seorang wamil.

“Dia tak pernah jadi tentara,” kata seorang pasangan wamil.

“Dia bahkan tidak tahu cara memegang senjata otomatis,” imbuhnya.

Dua dari ketiga istri mengatakan pasangan mereka dikirim ke garis depan saat pertempuran sengit berlangsung.

“Saya lagi perang,” bunyi pesan teks yang dilihat Reuters, yang menurut Marina dikirim oleh suaminya.

Marina mengatakan dia mengetahui dari pesan-pesan suaminya bahwa pasukannya, yang bertempur di wilayah Donbas, diperintahkan untuk menarik perhatian musuh agar menembak ke arah mereka.

Pasukan Ukraina pada 12 Maret merilis sebuah video yang memperlihatkan seorang tawanan perang. Dia mengaku bernama Ruslan Khalilov, pegawai negeri sipil dari Donbass dan dikirim tanpa latihan ke Mariupol dan perannya adalah sebagai “pemancing tembakan” sebelum pengeboman dilakukan.

Seseorang di Donbas yang mengenal Khalilov memastikan identitasnya kepada Reuters bahwa dia dikirim sebagai wamil dan tidak pernah dilatih secara militer. Reuters memastikan bahwa orang tersebut memang mengenal Khalilov.

Sang mahasiswa wamil mengatakan kepada Reuters bahwa sehari setelah melapor dia ditempatkan di unit mortir lalu dikirim untuk bertempur.

“Kami tak diajari apa pun,” katanya lewat aplikasi pesan.

“Sebelumnya saya hanya melihat mortir di film-film. Tentu saja, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan itu,” sebutnya.

Dia bilang sebelum berangkat, unitnya sudah sering diserang oleh pasukan Ukraina. “Banyak yang tewas,” tulisnya. “Saya benci perang. Saya tak menginginkannya, mengutuknya. Kenapa mereka mengirim saya ke rumah jagal?” bilangnya.

Semua informasi yang dihimpun Reuters menyebutkan adanya kelangkaan pasokan yang akut. Sejumlah sumber mengatakan hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada air minum, jatah lapangan seseorang dibagi-bagi dengan beberapa temannya, dan anggota pasukan harus memulung makanan.

“Kami minum air dengan katak mati di dalamnya,” kata si mahasiswa. “Pasokan bagi prajurit sekarang adalah bencana,” kata sumber yang dekat dengan pemimpin separatis Donetsk.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook