JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pembunuhan komandan pasukan elite Iran Qasem Soleimani membawa dampak ekonomi bagi seluruh dunia. Yang langsung terpukul adalah harga minyak bumi. Komoditas penting tersebut adalah yang pertama kacau jika negara di perairan Teluk terus bergejolak.
Kemarin (3/1) harga minyak Brent di bursa London naik 4,5 persen menjadi USD 68,36 (Rp951 ribu) per barel. Sedangkan minyak WTI yang menjadi tolok ukur harga di AS naik 4,1 persen menjadi USD 62,91 (Rp876 ribu) per barel.
Bursa Wall Street jeblok 0,8 persen meski pada akhirnya mencatat kenaikan. Di Asia, beberapa bursa juga menjadi lesu. Misalnya, bursa Hongkong Hang Seng turun 0,3 persen.
"Laporan mengenai ketidakpastian geopolitik baru saja tiba di meja investor," ungkap pakar investasi Jeffrey Halley dari Oanda kepada Associated Press.
Tentu saja investor takut jika Iran melancarkan aksi balasan. Mereka punya banyak cara untuk mengganggu saluran minyak di perairan Teluk. Pertama, mereka bisa memblokade Selat Hormuz dan mencegah kapal tanker lewat. Mereka juga bisa melumpuhkan jaringan pipa minyak Arab Saudi seperti insiden tahun lalu.
Belum lagi, terganggunya pasokan minyak Iraq jika konflik terjadi di sana. Saat ini saja, pemerintah AS sudah memerintah seluruh pekerja migas di Iraq untuk keluar negeri. Padahal, Iraq merupakan salah satu pemasok global minyak bumi.
"Jadi, yang ditakuti konsumen bukanlah penurunan suplai minyak Iran. Namun, risiko bahwa konflik ini bakal menyebar ke Arab Saudi, Iraq, atau bahkan kapal-kapal AS," ungkap Cailin Birch, pakar ekonomi di The Economist Intelligence Unit, sebagaimana dilansir Agence France-Presse.
Saat ini, Selat Hormuz merupakan aset terpenting bagi industri migas internasional. Setiap hari, 18 juta barel minyak bumi disuplai via perairan tersebut. Jika terganggu, pasokan bakal banyak terpangkas.
Meski begitu, Birch menganggap dampak insiden kali ini tak separah serangan di kilang minyak Saudi Aramco. Saat itu, harga minyak bumi naik hingga 10 persen.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi