OPTIMISTIS PHR MENYONGSONG 1 JUTA BAREL DI 2030

Minyak Bumi Tuah Negeri

Feature | Rabu, 30 Agustus 2023 - 11:56 WIB

Minyak Bumi Tuah Negeri
Salah satu tempat produksi minyak di ladang migas Wilayah Kerja (WK) Rokan yang mulai dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), beberapa waktu lalu. (DOK PT PERTAMINA UNTUK RIAU POS)

Dulu, minyak bumi menjadi penyokong utama pergerakan ekonomi Riau. Dari minyak bumi Riau, mengalirkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi serantau Indonesia, dari sabang sampai merauke. Minyak bumi dari dahulu hingga saat ini tetap menjadi tuah bagi negeri.

Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru


Ikhwal Riau sebagai padang perburuan minyak bumi bermula dari surat yang ditulis Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI) H Agus Salim September 1946.  Inti surat itu mengizinkan Richard H Hopper untuk datang dan beraktivitas di Sumatera Bagian Tengah yang kini menjadi Provinsi Riau.

Siapa  Richard H Hopper, yang dalam surat H Agus Sa­lim itu disebut dari “perusahaan minyak tanah di Pekan Baru”? Hopper  seorang geolog atau ahli batuan asal Amerika Serikat (AS).

Dalam bukunya berju­dul “Ribuan Tahun Sumatera Tengah-Sejarah Manusia, Rem­pah, Timah dan Emas Hitam” (2016), Hopper me­nulis Belanda mulai me­ng­em­bangkan sektor pertambangan pada 1887 dengan menerbitkan konsesi tambang timah di Sungai Tapung Kiri dan Tapung Kanan.

Semula, keberadaan minyak bumi di Sumatera Tengah sempat diragukan. Minyak bumi di Riau baru ditemukan pada sekitar 1939. Produksi secara komersial baru dimulai pada 1952 karena kondisi perang dan politik pada masa-masa itu.

Perjalanan waktu pun mencatat, dari petala (lapisan) bumi Riau “emas hitam” itu menjadi penopang utama hidup Indonesia, walau kadang  “ibu” dari “emas hitam” itu seperti terlupakan. Dia tertatih-tatih melangkah mewujudkan sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi.  

Itu dulu. Setelah disahkannya Undang Undang Dana Bagi Hasil Migas, pemerintah mengalokasikan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sektor minyak bumi dan gas sesuai dengan amanat Undang-Undang yang berlaku yakni, UU Nomor  33 Tahun 2004  tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Sesuai amanat Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, untuk minyak bumi dibagi dengan imbangan 84,5 persen  untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk pemerintah daerah.

DBH minyak bumi sebesar 15,5 persen  dibagi dengan rincian, 3 persen dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6 persen  kabupaten/kota penghasil, 6 persen  untuk kabupaten/kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan dan sisanya sebesar 0,5 persen  dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. 

Budayawan Riau Syaukani Al Karim kepada Riau Pos mengungkapkan, kata Minyak Bumi Tuah Negeri secara maknawi bahwa Tuhan telah memberikan kelimpahan karunia kepada tanah ini, yang diharapkan dapat menjadi mata air kesejahteraan bagi makhluk Riau yang berdiam di dalamnya.

“Kata Tuah dapat pula berarti takdir dan keberuntungan asali (bersifat asal), dan dalam konteks ini, tanah Riau telah dititipkan sumber keberuntungan sebagai sebuah takdir. Kita tentu berharap  minyak tidak sekadar menjadi tuah bagi negeri, tapi juga menjadi sumber kesejahteraan bagi rakyat dan generasi masa datang,” ungkapnya.

Syaukani memandang, meski minyak bumi menjadi Tuah Tanah Riau, tapi juga menjadi tuah bagi Indonesia sejak kemerdekaan. “Dan kalau kita hitung sejak ekspor perdana tahun 1955, maka Indonesia telah menerima tuah minyak Riau itu, sampai hari ini, dalam jumlah yang demikian besar,” tuturnya.

Alih Kelola 
Perjalanan panjang pengelolaan ladang minyak di Riau mencatat sejarah baru. Tepat pukul 24:00 WIB pada 8 Agustus 2021 lalu.  PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang hampir seabad diamanahkan menjadi operator pengelolaan ladang minyak yang paling “subur” di Riau, Blok Rokan menyerahkan pengelolaan ladang minyak itu ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).  

Momen tersebut merupakan peristiwa penting, karena Blok Rokan adalah ladang minyak yang paling melegenda di Indonesia. Para tokoh pemangku kepentingan  pun hadir dalam prosesi yang berlangsung secara virtual itu, termasuk para pejabat Satuan Kerja Khusus Minyak dam Gas (SKK Migas), badan yang mewakili pemerintah dalam urusan kontrak migas.

“Dengan berakhirnya kontrak kerja sama antara PT CPI dengan SKK Migas ini,  atas nama pemerintah Indonesia kami ucapkan terima kasih  kepada PT CPI atas kerja keras dan sinergisitas yang telah dibangun selama ini dengan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional lewat  pengelolaan atas wilayah kerja Rokan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam acara seremoni alih kelola itu.

Pascaalih kelola, PT PHR bakal mengelola wilayah kerja seluas 6,453 km2, dengan 10 lapangan utama migas ada di dalamnya, yaitu Minas, Duri, Bangko, Bekasap, Balam South, Kotabatak, Petani, Pematang, Petapahan  dan Pager. Blok Rokan itu membentang di lima kabupaten Provinsi Riau, yakni Kabupaten Bengkalis, Siak, Kampar, Rokan Hulu dan Rokan Hilir.

Pengelolaan Blok Rokan oleh PT PHR akan mengikuti sistem production sharing contract (PSC) gross split. Royalti yang akan diterima pemerintah (negara) ditentukan di depan, nilainya akan bergantung pada volumen produksi, dan pemerintah tak dibebani biaya eksplorasi. Masa kontraknya sepanjang 20 tahun.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam acara yang sama mengungkapkan, Blok Rokan ini merupakan wilayah kerja yang penting bagi Indonesia. Ia mencatat, Blok Rokan secara kumulatif telah menghasilkan minyak sebesar 11,7 miliar barel minyak, atau setara dengan 46 persen produksi nasional sejak  beroperasi pada 1951.

Pada masa titik puncak produksinya Mei 1973, tingkat produksi minyak Blok Rokan bahkan sempat mencapai 1 juta barel per hari alias barrel oil per day (BOPD) dan berkontribusi pada 83 persen produksi minyak nasional di tahun itu.  

Dwi Soetjipto berharap, pengelolaan Blok Rokan ini selanjutnya bisa mendukung target nasional produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari serta 12 billion standard cubic feet per day (BSCFD) gas pada 2030. “Kontribusi produksi wilayah kerja  Rokan sangat krusial dalam upaya mencapai visi ini,” kata Dwi.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya berkomitmen akan mengelola Blok Rokan itu sebagaimana amanah yang telah diberikan untuk mendukung pencapaian target nasional pemerintah. Pertamina telah mencanangkan kegiatan pemboran sebanyak 161 sumur, yang terdiri dari 84 sumur baru dan 77 sumur eks CPI pada kurun waktu Agustus-Desember 2021.

Pada 2022 direncanakan akan ada  tambahan kurang lebih sebanyak 500 sumur. “Pertamina telah menetapkan anggaran investasi sampai  tahun 2025  lebih dari  2 billion dolar AS,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Investasi  2 miliar dolar AS (sekitar Rp29 triliun) tentu bukanlah angka kecil. Jumlah itu sebagian tentu akan ikut mendongkrak secara langsung  perekonomian di wilayah kerja Rokan dan Provinsi Riau pada umumnya.

Menuju 1 Juta Barel
Manager Internal Communications PT PHR Sonitha Poernomo kepada Riau Pos, pihaknya sudah mengambil  langkah untuk mencapai target 1 juta barel pada tahun 2030 mendatang.  “Target 1 juta barel minyak ekuivalen di 2030 merupakan target nasional yang dicanangkan  pemerintah. Tentunya, dalam mendukung pencapaian target ini PHR melakukan penyusunan rencana kerja jangka panjang yang meliputi evaluasi cadangan dan rencana peningkatan produksi melalui pengembangan sumur baru, ekplorasi, base produksi dan teknologi,” katanya.

PHR jug mengoptimalkan program eksplorasi (new opportunies and new play concept) di wilayah sentral Sumatra. Selain itu, PHR juga melakukan re-processing dan akuisisi data 3D seismic di lapangan-lapangan PHR.

“Kami juga melihat opportunity by-pass oil dari lapangan yang masih low recovery factor dan stratigrafi trap (perbedaan porositas dan permeabilitas lapisan batuan) yang memerlukan studi lebih detail lagi,” ungkapnya.

Tentunya, tambah Sonita, PHR melakukan pengembangan lapangan secara berkelanjutan dengan pelaksanaan pemboran sumur baru (vertikal, horizontal, interfield dan lain-lain), pengembangan lapangan dengan teknologi injeksi air dan uap serta penerapan dan integrasi teknologi terbaru termasuk injeksi kimia, multistage fracturing dan aplikasi digitalisasi.

PHR juga melakukan pengkajian dan mitigasi tantangan yang ada. Dalam upaya peningkatan produksi, terdapat beberapa tantangan di antaranya fasilitas kelistrikan maupun sumur yang menua (aging facility) dan kapasitas fasilitas maupun pengadaan aset yang terbatas.

Selain itu, juga adanya kenaikan biaya investasi seiring inflasi dan kenaikan biaya jasa yang berpotensi menyebabkan keekonomian sumur menjadi marginal. Kami juga melakukan pengembangan teknologi misalnya untuk injeksi kimia yang memerlukan proses pembelajaran dan biaya investasi yang besar.

Menjawab kalau dalam analisa yang dilakukan PHR, cadangan minyak yang ada di daerah operasional PHR apakah mencukupi untuk mencapai target tersebut pada 2030? Sonita mengungkapkan, target 1 juta barel minyak ekuivalen di 2030 merupakan target nasional.

“PHR merupakan bagian dari rencana untuk pencapaian target nasional 1 juta barel minyak ekuivalen tersebut. Dalam upaya pencapaian target tersebut, PHR melakukan pengoptimalan cadangan yang ada sebagai bagian dari rencana jangka panjang perusahaan,” tuturnya.

Saat ini, disebutkan Sonita, sumur produksi yang aktif  ada sebanyak 8.475, dengan produksi maksimal mencapai 174 ribu barel per hari. “Terkait dengan hasil produksi sumur, kami tidak bisa merinci karena hasil produksi yang berbeda-beda dan tidak dapat disamaratakan,” jelasnya lagi.

Ketika ditanya, untuk mencapai target 1 juta barel itu, apakah PHR mengandalkan sumur-sumur yang sudah ada atau PHR terus melakukan pencarian sumber-sumber minyak baru? Dia kembali menyebutkan,target 1 juta barel minyak ekuivalen di 2030 merupakan target nasional. Rencana untuk pencapaian target produksi nasional 1 juta barel meliputi optimisasi sumur-sumur yang sudah ada (existing), pengembangan sumur eksplorasi, pemboran sumur baru, dan penerapan teknologi tahap lanjut (injeksi air, uap dan kimia).

“Target 1 juta barel minyak ekuivalen di 2030 merupakan target nasional. Ini adalah target capaian bersama di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, PHR akan terus melakukan optimisasi dari sumur yang ada untuk menahan laju penurunan produksi,” ungkapnya.

Saat ini, PHR telah melakukan pemboran sumur minyak baru sejak alih kelola (Agustus 2021)  sejumlah 789 tajak dari Agustus- as of 16 Juli 2023. Eksplorasi WK Rokan saat ini, sedang menuntaskan pengeboran prospek/sumur Sidingin North-1 dengan indikasi positif dan akan dilakukan testing.

“Selanjutnya, tahun 2023-2024 juga direncanakan pengeboran Prospek Pinang East, Astrea dan Mibasa. Selain itu tahun 2023-2024 juga merupakan momentum bagi WK Rokan untuk membuktikan lebih lanjut potensi migas nonkonvensional (MNK) melalui pengeboran dua sumur deepening exploration MNK: Gulamo dan Kelok,” ujarnya.

PHR juga melakukan manajemen reservoir dengan melakukan karakterisasi reservoir secara mendalam dan memadukannya dengan analisa dinamika proses aliran fluida. “Manajemen reservoir PHR juga selalu mengedepankan inovasi dan penerapan teknologi baru untuk dapat mengoptimisasi cadangan minyak yang dapat diperoleh sampai ke permukaan,” tuturnya.

Menjawab tentang laju penurunan produksi minyak, Sonita mengatakan, penurunan produksi sumur merupakan proses alamiah dalam masa produksi sumur. Program pemboran sumur baru telah berhasil menahan laju penurunan produksi lapangan PHR dari 7-11 persen  per tahun menjadi ~0 persen dan bahkan saat ini produksi menaik sekitar 2 persen per tahun,” tutupnya.(***)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook