KIEV (RIAUPOS.CO) - Vladimir Pavluk berjalan mendekati perlintasan perbatasan Polandia-Ukraina. Pria 26 tahun asal Odesa, Ukraina, itu ingin pulang ke negaranya dan angkat senjata memerangi Rusia. Beberapa tahun terakhir, dia tinggal dan bekerja sebagai sopir taksi di Polandia.
"Perang dimulai dan kami harus pulang. Saya ikut perang antara 2015-2019, jadi saya tahu apa yang harus dilakukan," tegasnya Ahad (27/2) seperti dikutip Al Jazeera.
Pernyataannya itu merujuk pada pertempuran dengan pemberontak di wilayah Ukraina Timur. Pavluk tak sendiri. Ratusan lelaki Ukraina di Polandia kembali pulang ketika perang pecah. Pun, mereka yang berada di negara-negara lain di Eropa. Terlebih, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sempat meminta bantuan kepada siapapun di Eropa yang bisa angkat senjata untuk berperang di pihaknya.
Tidak hanya pria yang menjawab panggilan Zelensky. Perempuan juga. Dalam beberapa video yang viral tampak para perempuan Ukraina membuat bom molotov dari bahan seadanya. Bom itu sangat berguna dalam pertempuran jalanan atau ketika pasukan Rusia masuk ke pemukiman penduduk.
Ratu kecantikan Ukraina yang pernah mewakili negaranya dalam Miss Grand International 2015 Anastasia Lenna juga memilih untuk tinggal. Dalam salah satu unggahan di akun Instagram-nya, tampak dia memegang senjata serbu. Perempuan yang menguasai lima bahasa itu menyerukan agar semua pihak bahu-membahu menghilangkan penanda nama jalan di Ukraina. Dengan begitu, tentara Rusia akan kesulitan. "Musuh memiliki koneksi yang menyedihkan, mereka tidak mampu mengorientasikan medan. Mari kita bantu mereka langsung ke neraka," tulisnya seperti dikutip Sky.
Kharkiv dan Kiev memang secara mencengangkan bisa berhasil memukul mundur pasukan Rusia. Tapi, pertempuran terus terjadi. Rusia memilih serangan jarak jauh. Sebanyak 31 orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya luka dalam serangan roket pasukan Rusia di Kharkiv. Ledakan juga terdengar di Kiev. Di Chernihiv yang berjarak 150 kilometer dari Kiev, misil Rusia menghantam permukiman penduduk dan memicu kebakaran.
Kementerian Dalam Negeri Ukraina melaporkan, warga sipil yang tewas mencapai 352 orang. Sebanyak 14 di antaranya adalah anak-anak. Korban luka mencapai 1.684 orang dan sebanyak 116 di antaranya adalah anak-anak. Penduduk Yunani turut menjadi korban. Pemerintah Yunani kemarin memanggil duta besar Rusia setelah mendapat laporan 10 warga negaranya tewas di Ukraina dan 6 lainnya luka-luka.
Amnesty International mengecam penggunaan amunisi klaster yang dilaporkan telah dipakai Rusia di Ukraina. Senjata itu seharusnya dilarang. Itu adalah jenis senjata yang jika ditembakkan bisa mengeluarkan senjata kecil-kecil dan bisa menimbulkan korban yang masif.
PBB memperkirakan lebih dari 500 ribu penduduk Ukraina mengungsi. Antrean panjang pengungsi yang naik mobil dan bus terlihat di perbatasan Polandia, Hungaria, Slovakia, Rumania dan Moldova. Sebagian lainnya memilih berjalan kaki sambil membawa barang-barangnya.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrei Fedorov mengungkapkan bahwa beberapa hari ke depan sangat penting. Sebab, menurut dia, perintah awal Presiden Rusia Vladimir Putin adalah menyelesaikan operasi militer dengan kemenangan pada 2 Maret. Namun, perlawanan keras Ukraina dan sanksi bertubi-tubi dari berbagai pihak di luar prediksi Rusia.
Rusia dan Ukraina saat ini telah setuju untuk duduk dan berdialog. Pembicaraan dilakukan di dekat perbatasan Belarus. Harapan bahwa dialog bakal menghasilkan jalan keluar sangat kecil. Zelensky menyerukan gencatan senjata selama dialog. Namun, sepertinya Rusia tidak menggubris karena serangan terus datang. Presiden berusia 44 tahun itu juga meminta agar negaranya segera menjadi anggota UE.
Ukraina harus memiliki cara untuk melawan dan menghimpun kekuatan yang lebih kuat. Itu lantaran intelijen Ukraina dan AS memprediksi bahwa Belarus siap bergabung dengan tentara Rusia dalam invasi. Bantuan finansial dan persenjataan dari beberapa negara terus berdatangan.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mendapatkan perlawanan dari dalam dan luar negeri. Tidak semua penduduk Rusia setuju dengannya. Saat ini lebih dari 3 ribu demonstran di Rusia yang menentang perang telah ditangkap. Namun, mereka tetap kembali ke jalan dan menyerukan antipeperangan.
Keluarga para prajurit Rusia yang dikirim ke Ukraina juga berang. Banyak di antara mereka yang tidak tahu keluarganya termasuk dalam bagian invasi. Mereka baru tahu ketika pemerintah Ukraina membuat situs dan unggahan di telegram khusus prajurit Rusia yang meninggal maupun tertangkap.
Salah satu di antaranya adalah Leonid Paktishev. "Saya sangat kaget. Saya tidak tahu dia berperang di sana. Saya tahu Leonid di militer, tapi tidak tahu dia dikirim ke Ukraina. Saya rasa Leonid juga tidak tahu dia bakal dikirim ke sana," ujar Yelena Polivtseva, sang adik. Beberapa jenazah pasukan Rusia memang menunjukkan bahwa mereka masih berusia belasan tahun dan kemungkinan tidak tahu misi perang yang dijalani.
Sementara itu, sanksi bertubi-tubi membuat mata uang Rusia, rouble, turun nilainya hingga 40 persen. Bank sentral Rusia sampai menaikkan suku bunga hingga 20 persen. Penduduk Rusia saat ini berbondong-bondong ke ATM untuk mengambil uangnya. Penduduk juga menyetok berbagai barang karena pembatasan perdagangan yang merupakan bagian dari sanksi ke Rusia bisa menyebabkan kenaikan harga. "Serangkaian sanksi ini memukul warga sipil Rusia lebih parah dari sanksi sebelumnya dan orang-orang sekarang menjadi sadar akan hal itu," terang CEO lembaga konsultan Micro-Advisory Chris Weafer.
31 WNI Berhasil Dievakuasi
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mulai menjalankan skenario evakuasi warga negara Indonesia (WNI) di Ukraina. Hingga kemarin (28/2), sudah 31 orang yang sudah berhasil dikeluarkan negara yang tengah diinvasi Rusia.
Proses evakuasi para WNI ini dimulai akhir pekan lalu. Sebanyak 25 WNI berhasil dievakuasi dari Odessa, Ukraina pada Ahad (27/2). Mereka kemudian dibawa melalui jalur darat menuju ke wilayah Rumania. Tim KBRI Bucharest pun telah membawa evacuee menuju Bucharest.
Operasi penyelamatan ini pun dilanjutkan kemarin (28/2). Sebanyak 6 WNI dan 1 warga negara asing (pasangan WNI) berhasil dievakuasi dari Lviv menuju Rzeszow, Polandia. Mereka dipastikan dalam keadaan sehat. "Total sudah 31 orang," ujar Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah saat dikonfirmasi, kemarin (28/2).
Diakuinya, evakuasi masih belum bisa dilakukan untuk WNI yang berada di Kiev. Sebab, di sana masih diberlakukan lockdown. Kendati demikian, Kemenlu bersama dengan KBRI Kiev terus mengupayakan evakuasi seluruh WNI dari berbagai kota di Ukraina.
Disinggung soal kendala di lapangan, Faiza mengaku tak cukup informasi untuk menjabarkan detail. Namun, dia menilai yang paling penting saat ini WNI yang berada di luar Kiev sudah berhasil dipindahkan. Seperti diketahui, di awal invasi Odessa Selatan jadi salah satu kota yang mendapat serangan pertama tentara Rusia.
Mengenai pemulangan WNI ke Tanah Air, Faiza mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan pesawat untuk membawa mereka kembali ke Indonesia. Akan tetapi, bila ada WNI yang memutuskan untuk tetap tinggal di negara lokasi evakuasi, pemerintah pun memberi kebebasan. "Pemerintah tidak bisa memaksa," ungkapnya.
Hingga saat ini sendiri, Kemenlu belum memutuskan akan menjemput para WNI tersebut dengan menggunakan pesawat militer atau komersil. Sebelumnya, dalam operasi penyelamatan WNI di Palestina, pemerintah memutuskan untuk menggunakan pesawat militer dengan dipimpin langsung oleh tim dari TNI. Karena, kondisi di sana sangat dinamis dan berbahaya bagi keselamatan sipil.(sha/mia/jpg)