Penyerang Novel hanya Dijerat Pasal Pengeroyokan

Hukum | Senin, 30 Desember 2019 - 10:40 WIB

Penyerang Novel hanya Dijerat Pasal Pengeroyokan

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Dua anggota polisi yang menjadi tersangka penyerangan Novel Baswedan terus menjalani proses hukum.

Namun, mereka mungkin tidak terlalu khawatir. Sebab, Polri hanya menjerat mereka dengan pasal pengeroyokan dan penganiayaan. Bukan percobaan pembunuhan berencana seperti yang diharapkan tim advokasi Novel.


Sesuai dengan ketentuan, ancaman hukuman maksimal untuk pelaku pengeroyokan dan penganiayaan hanya 5,5 tahun penjara. Namun, jika menggunakan pasal percobaan pembunuhan, pelaku bisa dituntut hukuman maksimal 15 tahun penjara. Tim advokasi Novel menganggap pasal pengeroyokan dan penganiayaan tidak tepat dipakai untuk menjerat tersangka. Sebab, insiden yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sudah direncanakan. Bahkan nyaris membuat Novel kehilangan nyawa.

’’Polisi seharusnya lebih komprehensif melihat kasus ini,’’ ujar Wana Alamsyah, salah seorang anggota tim advokasi Novel Baswedan. Menurut Wana, penyerangan terhadap Novel bukan sekadar pengeroyokan atau penganiayaan biasa. Pria yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menuturkan, sudah tampak upaya pembunuhan ketika Novel diserang. Dugaan tersebut bisa dilihat dari temuan di lokasi kejadian dan keterangan saksi-saksi di sekitar rumah Novel. ’’Kami sudah melihat rekaman CCTV-nya, tampak ada pengondisian,’’ bebernya. ’’Bahkan sudah ada perencanaan pembunuhan,’’ tambahnya.

Menurut Wana, Polri seharusnya melihat konteks tersebut dan mendalaminya. Polri juga harus melihat apakah dua tersangka benar-benar pelaku lapangan sekaligus aktor intelektual atau ada pihak lain yang memerintah mereka. Apabila ada pihak lain yang berperan, Wana menilai pasal pengeroyokan dan penganiayaan tidak tepat. ’’Ketika ada aktor intelektual yang muncul, artinya pasal tersebut bisa ditingkatkan lagi. Bukan sekadar penganiayaan seperti itu,’’ bebernya. Apalagi, Novel menyampaikan dugaan adanya oknum jenderal di balik serangan tersebut.

Wana melanjutkan, tim-tim yang bekerja untuk mengungkap kasus Novel sudah menyampaikan bahwa serangan tersebut berkaitan dengan pekerjaan Novel di KPK. Keterangan salah seorang tersangka yang seolah ingin menunjukkan motif dendam pribadi tidak masuk akal. Keterangan itu kian tidak masuk akal apabila aparat kepolisian tidak mampu menemukan relasi kedua tersangka dengan Novel. Menurut Wana, dendam pribadi hanya muncul apabila ada relasi antara Novel dan tersangka. ’’Artinya, argumentasi pengkhianat yang disampaikan pelaku tidak masuk akal dan bahkan cenderung terkesan ingin menutup kasusnya agar aktor intelektual tidak ditemukan,’’ terang Wana. Dia curiga kedua tersangka hanya ’’pasang badan’’ untuk melindungi pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyerangan Novel.

Sementara itu, sikap pimpinan KPK senada dengan polisi. Pimpinan KPK Nurul Ghufron sependapat dengan Polri yang menerapkan pasal pengeroyokan dan penganiayaan. Kepada Jawa Pos, Nurul Ghufron menyampaikan, memang ada unsur penganiayaan dalam penyerangan terhadap Novel. Karena itu, walau tim advokasi Novel menganggap pasal tersebut tidak tepat, dia justru sepandangan dengan Polri. ’’Air keras itu sifatnya memang hanya untuk menyakiti atau aniaya. Air keras tidak sampai mengakibatkan kematian,’’ terangnya.

Karena itu, Nurul Ghufron menilai tidak pas apabila tersangka dijerat pasal pembunuhan atau pembunuhan berencana. ’’Kecuali alat yang digunakan misalnya bom molotov, tembakan, dan lain-lain yang bisa menimbulkan kematian,’’ tegasnya.

Sementara itu, pihak istana akhirnya buka suara terkait dengan pengungkapan tersangka kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menyebutkan, presiden mengapresiasi capaian Polri. Hal itu sesuai dengan instruksi presiden. ’’Jadi, memang jelas perintah bapak, yakni penegakan hukum,’’ ujarnya kemarin. Soal dugaan keterlibatan pihak-pihak lain, istana menyerahkan kepada aparat hukum. Dini yakin kasus tersebut semakin jelas. ’’Nanti saat pemeriksaan akan didapatkan keterangan lebih lanjut dari para tersangka sehingga kasus ini menjadi semakin terang,’’ ujarnya. Yang terpenting, lanjut dia, pemerintah dan publik harus terus mengawasi penanganan kasus tersebut. ’’Istana percaya Polri akan bekerja secara profesional. Kita kawal kasusnya,’’ imbuh politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, hingga kemarin polisi belum membuka dua alat bukti yang dipakai untuk menangkap dua penyerang Novel. Padahal, dalam kasus lain, dua alat bukti itu dengan mudah diungkap polisi. Diketahui, tim pakar merekomendasikan untuk mendeteksi jejak digital dari sejumlah orang yang berada di sekitar rumah Novel. ”Tim pakar yang sebelumnya itu meminta ada pendalaman soal jejak digital ini,” terangnya.

Jejak digital tersebut bisa dilacak dari alat komunikasi kedua pelaku. Menurut Boyamin, seharusnya jejak digital bisa didapatkan dengan mudah oleh kepolisian. ”Jejak digital ini akan mengungkap sejumlah hal,” tutur dia. Salah satunya, apakah benar kedua pelaku berada di sekitar rumah Novel saat kejadian. Atau justru pelaku berada di lokasi yang berbeda. ”Kalau di lokasi yang berbeda atau malah sedang ada di Brimob, jelas ini akan kalah di pengadilan,” ujarnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook