JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Nama Djoko Sugiarto Tjandra menjadi salah satu subjek yang paling disorot sepanjang periode 2020. Dia diketahui sudah belasan tahun menjadi buronan penegak hukum Indonesia. Belum sampai tertangkap, tahun ini dia malah mengobok-obok instansi Polri.
Djoko Tjandra merupakan Direktur PT Era Giat Prima yang divonis 2 tahun penjara oleh Majelis PK Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Djoko Tjandra juga dihukum membayar denda Rp15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carter dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini. Djoko kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan menjadi Papua Nugini pada Juni 2012.
Setelah 11 tahun buron, Djoko Tjandra dikabarkan kembali ke Indonesia. Bahkan, Djoko Tjandra mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) terkait perkara yang menjeratnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 8 Juni 2020 lalu.
Setelah bertahun-tahun lolos dari kejaran petugas, pelarian Djoko Tjandra akhirnya berakhir. Jajaran Bareskrim Polri berhasil menangkan dia di Malaysia dan langsung dipulangkan ke Indonesia.
Informasi ini dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono. Djoko diterbangkan dari Malaysia menuju Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Dia tiba di tanah air pada Kamis (30/7) malam. Penangkapan dipimpin langsung oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo.
Listyo mengatakan, penangkapan Djoko Tjandra dilakukan oleh tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis. Tim berhasil mengidentifikasi keberadaan Djoko Tjandra di Malaysia. “Kapolri mengirim surat ke polisi Diraja Malaysia untuk bersama-sama mencari. Tadi siang didapat info yang bersangkutan target bisa diketahui,” kata Listyo.
Setelah berhasil ditangkap pada Kamis 30 Juli siang, tim Polri kemudian terbang ke Malaysia untuk melakukan penjemputan. Dan langsung bisa dipulangkan pada malam harinya. “Ini untuk menjawab keraguan publik selama ini, Polri bisa menangkap dan kita tunjukan komitmen, Djoko Tjandra kita amankan dan tangkap,” jelas Listyo.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku tak terkejut terhadap keberhasil Polri menangkap Djoko Tjandra. Menurutnya, proses penangkapak memang sudah dilakukan selama 10 hari terakhir. “Saya tidak terlalu kaget karena saya tahu dia (Djoko Tjandra) akan tertangkap itu sudah sejak tanggal 20 Juli yang lalu,” kata Mahfud kepada wartawan, Jumat (31/7).
Dia menyampaikan, pada 20 Juli 2020 pukul 11.30 WIB, Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo menghadap dirinya di kantor Kemenko Polhukam. Listyo menyampaikan Polri telah menyiapkan skenario penangkapan Djoko Tjandra.
Polri saat itu telah berhasil mengidentifikasi keberadaan Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. “Jadi polisi ke polisi, kami akan melakukan operasi mulai nanti malam kata pak Sigit tanggal 20 itu, mulai nanti malam untuk melakukan penangkapan karena kami sudah tahu tempatnya,” jelas Mahfud.
Dalam pertemuan itu, Mahfud menyakini Djoko Tjandra bisa tertangkap. Hanya tinggal menunggu waktu. “Tetapi ada kesepakatan bahwa yang tahu operasi ini hanya Presiden, Kapolri dan Menko Polhukam yang di atas pak Sigit itu, sehingga kami sepakat untuk diam,” ujarnya.
Namun, drama panjang sempat terjadi sebelum penangkapan Djoko Tjandra. Pertama yaitu beredarnya Surat Jalan palsu yang dibuat oleh Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut penerbitan surat jalan kepada buronan kelas kakap, Tjoko Tjandra tanpa sepengetahuan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Prasetijo menerbitkan surat tersebut atas inisiatif sendiri.
“Dalam pemberian atau pembuatan surat jalan tersebut, bahwa Kepala Biro tersebut adalah inisiatif sendiri. Dan tidak izin sama Pimpinan,” kata Argo di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu (15/7).
Akibat ulah tersebut, Kapolri Jenderal Idham Azis langsung mencopot Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari jabatannya. Sebab dia terbukti mengeluarkan surat jalan palsu untuk Djoko Tjandra.
Pencopotan ini tertuang dalam Surat Telegram (TR) Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020. Dalam surat tersebut, Prasetyo dimutasi menjadi Perwira Tinggi (Pati) Yanma Mabes Polri, dalam rangka pemeriksaan. “Komitmen bapak Kapolri jelas, jika dalam pemeriksaan terbukti bersalah, akan dicopot dari jabatannya,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono kepada wartawan, Rabu (15/7).
Polemik kasus buronan kelas kakap Djoko Tjandra semakin melebar. Setelah terungkap adanya surat jalan, kali ini kembali terungkap jika Divisi Hubungan Internasional Polri menerbitkan surat penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Surat tersebut tercatat dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020, ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Wibowo. Surat tersebut ditujukan kepada Direktorat Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis mengambil langkah tegas kepada bawahannya. Setelah mencopot jabatan Brigjen Prasetijo Utomo karena menerbitkan surat jalan, kali ini pencopotan pun dilakukan di Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter).
Melalui Surat Telegram Nomor ST/2076/VII/KEP./2020 tertanggal 17 Juli 2020, yang ditandangani oleh As SDM Kapolri Irjen Pol Sutrisno Yudi Hermawan Kadivhubinter Irjen Pol Napoleon Bonaparte dimutasikan menjadi Analis Kebijakan Itwasum Polri. Posisinya digantikan oleh Brigjen Pol Johanis Asadoma yang saat ini menjabat sebagai Wakapolda Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selain itu, Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang diduga menandatangani surat penghapusan red notice Djoko Tjandra juga dimutasi. Dia dipindah menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri.(jpg)
//