(RIAUPOS.CO) - Polri terus berusaha mengurai hubungan Brigjen Prasetijo Utomo (PU) dengan Djoko Tjandra, termasuk adanya dugaan gratifikasi yang diterima mantan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri tersebut.
Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono tidak memerinci detail hubungan keduanya. Hanya, dia menyebutkan bahwa Brigjen PU berkomunikasi langsung dengan buron kasus pengalihan hak tagih utang (cessie) PT Bank Bali itu. ”Iya, komunikasi juga,” katanya kemarin.
Berdasar komunikasi tersebut, indikasi-indikasi penerimaan gratifikasi turut didalami. Saat ini, ujar Argo, PU masih dalam pemeriksaan etik oleh divpropam. Namun, sesuai instruksi Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, dugaan pelanggaraan pidana juga akan diproses. ”(Pelanggaran) etik dan disiplin sudah ada saksi. Tapi, kalau pidananya beda,” jelas mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya itu.
Pertemuan langsung antara PU dan Djoko diduga terjadi dalam penerbangan dari Pontianak menuju Jakarta pada 6 Juni. Dalam pesawat yang disewa Djoko, tercatat empat nama penumpang. Mereka adalah Joko Soegiarto yang diduga merupakan Djoko Tjandra, Prasetijo Utomo, Anita Dewi yang merupakan kuasa hukum Djoko Tjandra, dan seseorang bernama Jhony.
Dari manifest pesawat yang diedarkan akun el diablo, diketahui bahwa Djoko Tjandra menyewa sebuah pesawat dengan tipe King Air 350 bernomor registrasi PK-TWX. Pesawat itu berangkat 6 Juni dari Pontianak menuju ke Halim Perdanakusuma. Dengan begitu ada dugaan bahwa Brigjen Prasetijo Utomo bertatap muka secara langsung dengan Djoko Tjandra. Bahkan, mengantar dari Pontianak menuju ke Jakarta. Namun, Kadivhumas Irjen Argo Yuwono tidak menjelaskan detilnya.
Sebelumnya, Polri menjelaskan terkait red notice yang perlu diperbaharui berkala lima tahun sekali. Dalam pembaharuan itu disebut seharusnya merupakan tugas dari penyidik yang menangani. Dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung sempat terkesan kurang cepat dalam memperbaharui red notice.
Ini dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa Djoko sulit tertangkap hingga saat ini. Tetapi, pihak Kejagung menegaskan yang namanya red notice tidak ada istilah mencabut. Seperti yang sudah disampaikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tempo hari.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono memperjelas bahwa red notice itu bukannya perlu diperbarui setiap lima tahun. Dia menjelaskan, seperti yang tertulis dalam Interpol’s Rules of the Processing Data (IRDP) pasal 68 ayat (3). Di situ disebutkan bahwa yang berlaku maksimal lima tahun adalah penyusunan file analisis kejahatan, bukan pemberlakuan red notice itu sendiri.
“Jika ada permintaan konfirmasi masih perlu apa tidak (red notice), mungkin iya. Karena bisa terjadi DPO sudah tertangka atau meninggal tetapi red notice belum dilaporkan untuk dihapus,” jelas Hari, Sabtu (18/7).
Kemudian, lanjut dia, surat yang disampaikan ke NCB Interpol adalah permintaan bahwa cekal masih berlaku. Dalam surat tersebut, Kejagung menuliskan bahwa red notice berlaku sejak 2009 dan masih diperlukan hingga sekarang. Kejagung juga merujuk pada penjelasan Polri pada 2016 bahwa red notice itu tetap berlaku selama DPO belum tertangkap atau belum dipastikan keberadaannya dalam kondisi meninggal dunia. Jika sudah diketahui, maka Interpol baru boleh mencabut red notice.
Selain Djoko, Kejagung juga memiliki sederet nama buronan lain yang belum diketahui keberadaannya. Berangkat dari IRDP tersebut, maka untuk buronan lain pun tidak akan dimintai perpanjangan red notice secara khusus. Namun konteksnya hanya penegasan bahwa mereka masih memerlukan red notice dan cekal itu. Sehingga jangan dicabut terlebih dulu.
Terkait keterlibatan Kajari Jakarta Selatan yang tersebar videonya di media sosial, Hari hanya menegaskan bahwa saat ini yang bersangkutan sedang diperiksa. Bagian pengawasan mengklarifikasi isi video tersebut, tetapi belum ada hasil yang bisa diungkap. “Gambarnya nggak jelas, bicaranya juga cuma masalah Covid-19,” jelas Hari.
Meski demikian, penelusuran Djoko ini terbilang lamban menurut mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Imam. Dia mengakui bahwa ada kecolongan, padahal untuk buronan-buronan sebelumnya bisa lebih mudah ditangkap. Bahkan meski yang bersangkutan ada di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
“Saya belum bisa mengatakan ini permainan, tapi bahwa ada kelemahan dari intelijen. Mungkin kelemahan peraturan, karena seakan-akan sudah ada tapi kok masih terjadi (buronan keluar masuk),” paparnya kemarin. Dia menyebut pihak Imigrasi juga berperan karena tak menjaga pintu perbatasan secara maksimal sehingga Djoko mudah menyeludup.
Untuk menanganinya, Chairul menyarankan agar Kejaksaan dan Polri membentuk tim pencari fakta (TPF). Khusus untuk menelusuri kesalahan sistem yang fatal ini. “Polisi dan jaksa kita juga punya hubungan yang baik dengan polisi-jaksa negara-negara ASEAN, gunakan hubungan itu untuk membantu,” lanjutnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Adang Daradjatun secara tegas menyatakan harus ada pengusutan secara organisasi terhadap kasus ini. Tidak bisa hanya dianggap sebagai kesalahan oknum saja. “Saya sudah bicara dengan propam. Yang pasti sekarang dalam proses penyelidikan. Tapi saya takut ini bagian dari kegiatan yang terorganisir,” ungkap Adang, kemarin.
Dia berharap konteks penyelidikan ini tidak hanya berhenti pada masalah etika. Jika terbukti kesalahan orang perorangan, bisa dikenakan Pasal 4 UU Polri yang membahas soal etika itu. Namun, jika berkaitan dengan organisasi, maka harus ada perbaikan menyeluruh terhadap sistem yang ada. Jangan sampai hal yang sama terulang. “Sampai saat ini masalah kultur itu yang belum selesai. Sebaiknya kita lihat di ujung bagaimana propam membuka case-nya,” lanjut mantan Wakapolri tersebut.
Demi mengusut tuntas kasus ini, Komisi III akan memanggil sejumlah pihak terkait. Dalam waktu dekat, Ditjen Imigrasi juga akan dipanggil karena dianggap lalai dalam memperketat perbatasan sehingga Djoko bisa bebas keluar masuk dengan dokumen yang baru saja dibuat. Juga, kelalaian karena memproses paspor untuk Djoko.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menuturkan bahwa beredarnya berbagai foto dan video terkait Djoko Tjandra serta pengacaranya tentunya harus diusut. Karena mengindikasikan adanya gratifikasi, pemalsuan dan penyalahgunaan jabatan. Dari kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah Agung. “Pengacaranya juga dengan dugaan penyuap,” urainya.
Memang foto pengacara Djoko Tjandra dengan seorang Hakim Agung belum bisa membuktikan adanya lobi. “Tapi realitasnya masuk seorang buronan ke Indonesia dan terkesan sudah disiapkan,” jelasnya dihubungi Jawa Pos (JPG),kemarin.(idr/deb/fiq/c9/fal/das)
Laporan JPG, Jakarta