JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan satelit komunikasi pertahanan (satkomhan) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015–2021 menjadi ujian bagi Kejaksaan Agung (Kejagung). Korps Adhyaksa diminta profesional menangani perkara yang diduga merugikan negara Rp514,2 miliar tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan, tidak ada tantangan berat bagi Kejagung jika perkara itu ditangani secara profesional. Apalagi, ada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAM Pidmil) dalam penanganan perkara tersebut. ”Jadi, kejaksaan bisa menangani perkara korupsi itu sekalipun melibatkan oknum militer,” ujarnya, Sabtu (15/1).
Yang terpenting, kata Fickar, penyidik Kejagung benar-benar mengantongi alat bukti yang kuat sebagai modal penanganan perkara korupsi tersebut. Alat bukti itu digunakan untuk membuktikan kasus korupsi yang sedang diusut. ”Kalau Kejagung bersikap profesional, saya kira tidak ada halangan apa-apa,” katanya.
Sebagaimana yang diberitakan, Kejagung menaikkan status perkara dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 1230 bujur timur (BT) di Kemenhan pada 2015–2021 dari penyelidikan ke penyidikan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menuturkan, penyidikan itu dimulai pada Jumat (14/1) dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-08/F.2/Fd.2/01/2022.
Dalam konferensi pers pada Jumat lalu, Febrie menjelaskan bahwa dugaan korupsi tersebut berawal pada 2015. Ketika itu Kemenhan melaksanakan proyek pengadaan satelit slot orbit 1230 bujur timur (BT). Proyek tersebut merupakan bagian dari program satkomhan yang terdiri atas pengadaan satelit mobile satellite service (MSS) dan ground segment beserta pendukungnya.
Dalam gelar perkara, Kejagung mendapati unsur perbuatan melawan hukum dalam pengadaan proyek tersebut. Salah satunya, perencanaan proyek dilakukan sebelum anggaran tersedia dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Kemenhan 2015. ”Proyek ini tidak direncanakan dengan baik,” tegas Febrie.
Selain itu, Febrie mengungkapkan, Kemenhan ternyata menyewa satelit dari Avant Communication Limited Ltd dalam menjalankan proyek tersebut. Padahal, penyewaan itu belum diperlukan. Sesuai dengan ketentuan, masih ada tenggat selama tiga tahun untuk satelit lama yang tidak berfungsi. ”Dan, satelit yang disewa ternyata tidak berfungsi. Spesifikasinya tidak sama dengan (satelit) lama,” jelasnya.
Kejagung telah mengumpulkan alat bukti berupa dokumen kontrak pengadaan tersebut. Juga memeriksa 11 saksi dalam penyelidikan. Kejagung juga telah berdiskusi dengan para auditor tentang kerugian negara yang ditimbulkan dari proyek tersebut. ”Peserta ekspose (gelar perkara, red) sependapat bahwa alat bukti sudah kuat untuk dilakukan penyidikan,” ujarnya.
Dari hasil audit ditemukan, proyek itu merugikan keuangan negara Rp514,2 miliar. Meliputi biaya sewa satelit dari perusahaan Avant Rp491 miliar; biaya konsultan Rp18,5 miliar; dan biaya arbitrase Navajo Rp4,7 miliar. ”Jadi, kita perkirakan (kerugian negara) lebih dari Rp500 miliar,” ungkapnya.
Terkait dengan arbitrase tersebut, pengadaan satelit itu diketahui digugat 20 juta dolar AS oleh perusahaan Navajo di Pengadilan Arbitrase Singapura. Pengadilan itu memutus Indonesia membayar denda Rp304 miliar. Gugatan tersebut merupakan yang kedua. Sebelumnya, Pengadilan Arbitrase Inggris juga memutus Indonesia membayar denda Rp515 miliar terkait dengan kasus yang sama. (tyo/c14/fal/jpg)