SURABAYA (RIAUPOS.CO) - Penetapan tersangka Jessica Kumala Wongso sebagai dalang pembunuhan Mirna mendapat sorotan dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedoteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Sebab, Jessica diduga menderita gangguan kejiwaan tingkat berat.
”Ada yang bilang psikopat. Dugaan seperti ini tidak boleh dikeluarkan sembarangan,” ujar Spesialis Kejiwaan RSUD dr Soetomo dr Nalini M Agung SpKJ (K) kemarin (30/1).
Banyak pihak yang menyangka Jessica bermasalah dengan kejiwaannya lantaran terlihat tenang saat diberondong pertanyaan tentang kematian rekannya. Dia juga sering tampil di media tanpa menunjukkan sikap merasa bersalah. Nalini menyebut, sikap itu menunjukkan dua kemungkinan. Yang pertama, dia memang psikopat. Yang kedua, Jessica tidak bersalah.
Menurut dia, seseorang bisa dinyatakan psikopat atau tidak setelah melalui proses pengamatan yang intens. Waktu yang diperlukan minimal dua pekan. Masa itu terus diperpanjang sampai bukti yang mendukung pelaku psikopat ditemukan.
Karena itu, langkah wawancara berjam-jam sampai hipnotis pun belum dianggap kuat. Bahkan, selama ini psikopat terbukti gampang lolos dari pemeriksaan menggunakan lie detector.
Nalini mengatakan, dengan kondisi itu, yang melakukan penentuan kejiwaan seseorang harus dari tim profesional. Yakni psikiater atau dokter jiwa. ”Takes time sekali karena psikopat sangat manipulatif. Pandai berbohong. Psikiater saja bisa terkecoh,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, kepolisian sebaiknya mengajak tim ahli kejiwaan untuk menentukan kondisi kejiwaan Jessica. Sebab, dia mengakui perkara tersebut bukan sekedar masalah biasa.
Karena itu, perempuan yang juga pengurus pusat PDSKJI tersebut menyebut tidak akan mengeluarkan pernyataan yang justru menimbulkan kebingungan dan kontroversi di kalangan masyarakat.
Saat ini, PDSKJI sedang melakukan rapat untuk memberikan statement khusus tentang kasus tersebut. ”Kami tidak akan beropini Jessica mengalami gangguan jiwa atau tidak tanpa diagnosis holistik,” katanya.
Nalini menyebutkan, kasus tersebut memang mendapat perhatian besar dari masyarakat. Namun, dia berharap kepolisian tidak mengkriminilasisasi seseorang atas dasar opini publik. ”Yang paling penting penetapan itu harus berdasar bukti otentik,” katanya.