JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Terkait terjemahan KUHP, YLBHI, ICJR, dan LBH Masyarakat, yang tergabung dalam Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi, melaporkan Presiden RI Joko Widodo, Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly serta Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Adapun laporan itu diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang tertera dalam surat gugatan Nomor: 330/PDT.G/2018/PN.JKT.PST. Menurut Perwakilan Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi, Muhammad Isnur, KUHP sekarang masih berbahasa Belanda.
Baca Juga :
Ketua DPRD Siak Berikan Bantuan untuk Warga Terdampak Banjir
Kata dia, seharusnya KUHP saat ini memiliki terjemahan berbahasa Indonesia secara resmi. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
"Karena tertulis di UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan setiap undang-undang wajib menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
KUHP yang saat ini masih menggunakan bahasa Belanda, sambungnya, merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR RI.
Dikatakannya, tim advokasi KUHP berbahasa Indonesia resmi menemukan fakta bahwa selama ini KUHP tidak mempunyai terjemahan resmi, yang beredar diterjemahkan oleh beberapa ahli pidana, seperti R. Soesilo, Prof Moeljatno, Prof Andi Hamzah, BPHN dan lain-lain.
"Hal itu sangat merugikan masyarakat karena menjadi banyak perbedaan tergantung siapa penerjemah yang dipakai oleh aparat," tuturnya.
Dia menyebut, bahkan, dalam merumuskkan RKUHP di DPR, itu bukan menggunakan terjemahan resmi.
"Terjemahan KUHP yang dipakai oleh perumus RKUHP merupakan terjemahan bebas dari para akademisi," paparnya.
Adapun hal itu berdampak pada rumusan-rumusan pasal RKUHP yang potensial menimbulkan tafsir sumir dan multitafsir. Sebab, tidak adanya keseragaman makna dalam KUHP yang beredar selama ini.
Karena itu, Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi, dalam tuntutanya meminta agar pemerintah dalam hal ini Presiden, Menteri Hukum dan Ham, dan Ketua DPR, sebagai tergugat, menunda pembahasan RKUHP, sebelum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah.
"Memerintahkan agar pembahasan RKUHP ditunda, sebelum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah," tegasnya.
Di samping itu, pelapor meminta para tergugat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk menyatakan permohonan maaf melalui 5 (lima) media cetak nasional selama 5 (lima) hari berturut-turut.
Dengan redaksional sebagai berikut: "Saya Presiden Republik Indonesia/Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia/Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menyatakan permohonan maaf atas perbuatan melawan hukum yang telah telah dilakukan karena tidak mengesahkan terjemahan resmi Kitab Undang- undang hukum Pidana". (rdw)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama