JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Sudah 970 hari berlalu, namun kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan sampai saat ini belum juga terungkap. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan tenggat waktu kepada Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menyelesaikan kasus tersebut hingga awal Desember.
“Pada kenyataannya tidak ada sama sekali perkembangan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi untuk mengungkap siapa aktor di balik penyerangan Novel Baswedan,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (3/12).
Kurnia menyebut, banyaknya tim yang dibentuk oleh kepolisian tidak linear dengan hasil kinerja yang telah memakan waktu selama dua tahun delapan bulan. Apalagi, Kapolri Jenderal Idham Azis merupakan ketua dalam tiga tim yang telah dibuat.
“Tidak terselesaikannya kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan merupakan satu bukti nyata bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi, khususnya perlindungan bagi pembela Hak Asasi Manusia (HAM),” tegas Kurnia.
Atas dasar tersebut, Kurnia meminta Jokowi untuk segera menyampaikan hasil perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel kepada publik. Jika tidak, Jokowi harus segera mencopot Idham Azis dari jabatannya sebagai Kapolri.
“Presiden Joko Widodo harus mencopot Idham Azis apabila tidak dapat menemukan aktor pelaku lapangan, aktor intelektual dan motif penyerangan,” pungkasnya.
Pasca penyerangan Novel pada 11 April 2017 hingga saat ini, lanjut Kurnia, Jokowi telah mengeluarkan 15 pernyataan mengenai kasus tersebut. Salah satunya pada 31 Juli 2017 melalui Twitter di mana Jokowi memberikan pernyataan bahwa pengusutan kasus Novel Baswedan terus mengalami kemajuan. Namun pada awal Desember 2018, Jokowi seolah-olah menutup mata dengan segala kinerja kepolisian yang tidak dapat menemukan aktor penyiraman akhir keras yang menimpa Novel.
“Alih-alih bersikap realistis terhadap proses pengusutan kasus yang dinilai sulit oleh kepolisian, Presiden Jokowi tidak pernah melakukan evaluasi terhadap tim yang dibentuk oleh kepolisian,” sesal Kurnia.
Adapun polisi telah membentuk tiga tim khusus untuk mengungkap kasus ini. Tim pertama dibentuk oleh Kapolri Tito Karnavian pada 12 April 2017 yang merupakan gabungan dari Polres Jakarta Utara, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri. Selama proses pengungkapan kasus, Idham Azis yang kala itu menjabat sebagai Kapolda menyampaikan bahwa telah ada 166 orang yang terlibat dalam Satgasus dengan memeriksa 68 orang saksi, 38 rekaman CCTV, dan 91 toko penjual bahan-bahan kimia per 14 Maret 2018.
Awal 2019, tepatnya pada 8 Januari, Tito melalui surat tugas nomor: Sgas/3/I/HUK.6.6./2019 membentuk tim kedua. Tim gabungan pada bidang penyelidikan dan penyidikan kasus penyerangan air keras terhadap Novel merupakan rekomendasi dari hasil laporan tim pemantauan proses hukum Novel Baswedan yang dibentuk oleh Komnas HAM RI.
Tim tersebut beranggotakan 65 orang, di mana 53 orang di antaranya berasal dari Polri. Tim yang juga diketuai oleh Idham ini telah memeriksa 74 orang, 38 rekaman CCTV, dan 114 toko penjual bahan-bahan kimia yang juga melibatkan kepolisian dari Australia. Salah satu rekomendasinya yaitu membentuk tim teknis lapangan.
Karena hasilnya masih nihil, tim ketiga kembali dibentuk oleh Tito, yakni tim teknis kasus Novel Baswedan berdasarkan rekomendasi dari tim gabungan. Kapolri mengeluarkan Surat Perintah Tugas (Sprint) pada 1 Agustus 2019 yang diketuai oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Nico Afinta yang harus bertanggung jawab kepada Idham selaku Kabareskrim.
Tim teknis memiliki anggota sebanyak 120 orang yang direncanakan bertugas selama enam bulan. Namun, Jokowi menolak permintaan tersebut dengan menyatakan bahwa awal Desember akan menyampaikan hasil temuan tim teknis. Nyatanya, belum ada perkembangan apapun dari polisi maupun Jokowi terkait kasus Novel di hari ketiga bulan Desember ini.
Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com