"Kalau Jokowi mau saja mempelajari negara yang berhasil keluar dari transisi demokrasi dan menuju negara sejahtera, seperti Korea Selatan dan Taiwan, Jokowi mungkin tidak akan mengeluarkan pernyataan konyol seperti itu," katanya saat dikonfirmasi JawaPos.com, Jumat (1/6/2018).
"Justru sikap yang lebih berpihak pada pemberantasan korupsi ditunjukkan oleh Wapres JK," katanya.
Di sisi lain, menurut Abdul Fickar Hadjar, dirinya memang tidak setuju jika mantan koruptor mempunyai hak mencalonkan diri menjadi caleg. Akan tetapi, untuk melarangnya, harus disesuaikan dengan putusan hukum, seperti kasus Anas Urbaningrum atau para koruptor lain yang memang dicabut hak politiknya.
"Maka pertanyaannya siapa yang berwenang memotong hak politik seseorang? Pasal 10 KUHP tentang jenis hukuman, pencabutan hak politik itu termasuk hukuman tambahan, kewenangan hakim yang didasarkan pada UU dalam hal ini KUHP," tuturnya.
Karena itu, seharusnya larangan mencalonkan diri atau pencabutan hak politik dilakukan melalui peraturan setingkat UU. Kemudian, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai ada situasi darurat pencegahan korupsi dengan pembatasan hak terhadap napikor, perihal juridiksi-juridisnya yang perlu dikhawatirkan.
"JR di MA memperkuat kewenangan KPU, maka aturan itu bisa dilaksanakan dengan dasar yang kuat, misal mendorong Presiden untuk mengeluarkan PERPPU," tegasnya.
"Agar rakyat mengetahui dan berhak untuk menentukan pilihannya pada siapapun juga," tuntasnya. (ipp)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama