RENCANA KEBIJAKAN KPU

Pengamat Kecam Jokowi karena Sebut Napi Korupsi Punya Hak Jadi Caleg

Hukum | Jumat, 01 Juni 2018 - 20:15 WIB

Pengamat Kecam Jokowi karena Sebut Napi Korupsi Punya Hak Jadi Caleg
Presiden Joko Widodo. (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pro dan kontra terus berkembang terkait pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan mantan narapidana korupsi memiliki hak untuk menjadi calon anggota legislatif (calag).

Pasalnya, pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu bertentangan dengan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menolak memberi kesempatan mantan koruptor mencoba peruntungan terjun kembali memangku jabatan politik.

Menurut Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, dirinya kecewa dengan pernyataan mantan gubernur DKI Jakarta itu. Dia menilai, pernyataan itu mengonfirmasi bahwa tidak ada niat Jokowi untuk memberantas korupsi.
Baca Juga :MAKI Bakal Gugat ke PTUN, jika Firli Bahuri Tak Diberhentikan Tidak dengan Hormat dari KPK

"Kalau Jokowi mau saja mempelajari negara yang berhasil keluar dari transisi demokrasi dan menuju negara sejahtera, seperti Korea Selatan dan Taiwan, Jokowi mungkin tidak akan mengeluarkan pernyataan konyol seperti itu," katanya saat dikonfirmasi JawaPos.com, Jumat (1/6/2018).

Adapun aktivis ICW Donal Fariz dan pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengeluarkan pernyataan yang sama. Donal mengatakan, sikap yang ditunjukkan Jokowi memperburuk citra antikorupsinya sendiri.

Seharusnya, tegasnya, Jokowi mendukung langkah KPU untuk melarang mantan napi korupsi menjadi caleg.

"Justru sikap yang lebih berpihak pada pemberantasan korupsi ditunjukkan oleh Wapres JK," katanya.

Di sisi lain, menurut Abdul Fickar Hadjar, dirinya memang tidak setuju jika mantan koruptor mempunyai hak mencalonkan diri menjadi caleg. Akan tetapi, untuk melarangnya, harus disesuaikan dengan putusan hukum, seperti kasus Anas Urbaningrum atau para koruptor lain yang memang dicabut hak politiknya.

"Maka pertanyaannya siapa yang berwenang memotong hak politik seseorang? Pasal 10 KUHP tentang jenis hukuman, pencabutan hak politik itu termasuk hukuman tambahan, kewenangan hakim yang didasarkan pada UU dalam hal ini KUHP," tuturnya.

Karena itu, seharusnya larangan mencalonkan diri atau pencabutan hak politik dilakukan melalui peraturan setingkat UU. Kemudian, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai ada situasi darurat pencegahan korupsi dengan pembatasan hak terhadap napikor, perihal juridiksi-juridisnya yang perlu dikhawatirkan.

"JR di MA memperkuat kewenangan KPU, maka aturan itu bisa dilaksanakan dengan dasar yang kuat, misal mendorong Presiden untuk mengeluarkan PERPPU," tegasnya.

Dia mengaku khawatir, jika nanti belum ada dasar hukum setingkat UU yang mengatur hal ini, akan dijadikan celah untuk menghindari hal yang tak diinginkan, seperti cara harus mendeklair atau membuat pernyataan secara terbuka bahwa salah satu calon bekas Napikor.

"Agar rakyat mengetahui dan berhak untuk menentukan pilihannya pada siapapun juga," tuntasnya. (ipp)

Sumber: JPG

Editor: Boy Riza Utama









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook