"Personel yang saya bawa ke pesawat itu, hanya 6 orang, 7 sama saya. Dua di pintu depan mengarah ke pilot, yang pintu sayap masuk mengarah ke tengah, dan pintu belakang mengarah ke dalam. Saat itu pasukan sudah masuk di sasaran. Yang depan-depan, di tengah-tengah, dan belakang. Saya berdiri di samping pintu depan," akunya.
Mencoba Tegar saat
Anak Buah Gugur
Yang paling menyayat dan membuat hatinya hancur kala operasi itu, saat melihat seorang anak buahnya gugur dalam peristiwa yang terjadi di Bandara Don Muang, pada 31 Maret 1981 tersebut. Saat itu anak buah Untung, Lettu Anumerta Ahmad Kirang gugur bersama pilot pesawat Kapten Herman Rante.
"Di dalam perasaan itu, saya sebagai komandan tidak boleh jatuh hati (patah hati, red). Itu anak buah tertembak mati, sekarat mau mati, kita itu tidak boleh ribut. Kita nengok, kenapa kamu? Temannya bilang, tertembak, tungguin. Walaupun hati kita hancur, tapi tidak boleh membuat sikap," kata Untung Soeroso.
Dia juga mengungkapkan perasaannya ketika tahu Herman yang merupakan sang pilot pesawat Garuda tersebut tewas dalam kejadian itu. Dalam keadaan seperti itu, dirinya tetap berusaha tegar dan meminta dokter untuk segera menangani.
Untung mengaku khawatir ketika melihat jenazah Herman ditandu keluar dari pesawat lantaran tidak ingin ada dugaan Herman tewas karena tembakan dari anggota timnya. Karenanya, tanpa berpikir panjang dirinya langsung memeriksa jenazah Herman dan mengetahui sang pilot ditembak dari arah depan tembus ke belakang.