"GPS Collar memberikan informasi keberadaan, pergerakan gajah. Jika ada kemungkinan besar ke desa, maka dilakukan pengiringan agar tidak masuk ke pemukiman penduduk," kata Husni. Pemasangan Kerah GPS diharapkan sebagai peringatan dini yang segera disikapi dengan aksi penanggulangan konflik, sekaligus mengetahui pergerakan kelompok gajah di Balai Raja dan GSK. Untuk aspek lebih luas memberikan informasi guna penyusunan rencana tata ruang kantong habitat gajah dan merancang koridor gajah Balai Raja-GSK.
Tak semudah yang dibayangkan, kegiatan pemasangan kerah melibatkan berbagai pihak dan tenaga ahli selain dari BBKSDA, PGI dan RSF termasuk juga peran dari dokter hewan dan mahout alias pawang gajah. Proses pemasangan memakan waktu beberapa bulan, mulai dari koordinasi dengan stakeholder, pembentukan tim, penyiapan lapangan dan peralatan medis, hingga pemasangan di lapangan.
Saat ini ketiga GPS Collar tersebut masih aktif dan beroperasi dengan baik. Pengolahan dan analisis data juga dilakukan.
Chevron juga membangun menara pantau, Elephant Watch Tower (EWT) sebagai tindak lanjut upaya mitigasi konflik gajah-manusia di kantong gajah GSK, Kecamatan Mandau, Bengkalis. Titik di mana Menara pantau dibangun adalah zonasi penyeberangan gajah. Selain itu terdapat program pengayaan mineral, ini dilakukan untuk memikat hewan-hewan di sekitar hutan Talang untuk masuk ke dalam hutan.
Serangkaian langkah itu dilakukan sebagai upaya pencegahan konflik, khususnya perburuan satwa yang dilindungi.
Menumbuhkan Kesadaran
Keberpihakan terhadap gajah menurut Husni tak menutup mata bahwa ada dampak buruk yang dihadapi warga seperti kerusakan tanaman, kerusakan hunian maupun ancaman nyawa.
Guna mengimbangi dampak lebih besar, pihaknya menerapkan sistem agroforestry bagi masyarakat dengan mengalakkan tanaman untuk juga multi kultur tanaman. Sehingga diharapkan kedepan gajah bisa hidup bebas dan warga tak terganggu. Warga bersedia, total seluas 21 hektare lahan telah dimanfaatkan untuk dijadikan lahan agroforestri. Langkah ini mendapatkan dukungan dari Pertamina.
"Kedepan itu yang terus dilakukan, membangun trust ke masyarakat agar sama-sama peduli, lalu mengalakkan penanaman pohon yang punya nilai ekonomis tapi tidak disukai gajah hingga tak dirusak, ini program jangka panjang dan memang tak semudah membalikkan tapak tangan," kata Husni.
Jika dihulu, para pejuang muda ini memperhatikan aktifitas, pergerakan gajah ditopang infrastruktur penunjangnya, dihilir mereka berjuang menumbuhkan kesadaran masyarakat dan mendorong terwujud kepedulian bersama membentuk habitat yang ramah bagi gajah.
Mereka membangun kelompok kecil di setiap desa yang menjadi perlintasan gajah, setidaknya sudah ada tujuh desa yang terbentuk, terbaru di Desa Muara Bungkal,Kecamatan Sungai Mandau, Siak.
"Kesadaran masyarakat kami bangun, lewat membentuk namanya Kelompok Peduli Gajah. Warga diberikan pemahaman teknis bagaimana pengiringan agar tak menyakiti gajah dan aman bagi warga, kami berikan pelatihan dan menyediakan alat seperti meriam sama mercon," kata Husni.
Meriam dimaksud seperti petasan yang dibuat anak-anak dari tabung plastik atau pipa, dengan panjang satu setengah meter. Pengunaannya memakai spritus yang mendorong terjadi dentuman. Sementara pengunaan mercon tinggal dinyalakan. "Namun mercon tak direkomendasikan karena bisa menyebabkan kebakaran, jadi harus hati-hati," kata Husni.
Pengiringan gajah mengunakan dua alat itu terbilang efektif namun sulit-sulit gampang. Kesulitan terutama pada menemukan keberadaan kawanan yang terus berpindah. Pernah kejadian tim patroli yang bergerak sejak pagi baru berhasil menemukan dan melakukan pengiringan gajah keluar dari areal kebun warga pada tengah malamnya.
Dorongan Energi, Lewat Kolaborasi
Gajah itu punya nama : Seruni, Rimba, Getar, Codet, Bara dan masih banyak lagi. Dalam dokumentasi RSF, si Codet dikenali warga dengan sebutan tanker. Ini mengisyaratkan tambunnya tubuh gajah jantan itu.
Pengenalan warga itu sekaligus memberikan gambaran betapa kerapnya mereka melihat gajah khususnya codet, melintasi areal kebun maupun pemukiman khususnya dalam hal ini di Duri, Bengkalis.
"Sekarang terpantau kami gajah bolak-balik di Duri ada empat, kadang di Duri, kadang Giam Siak Kecil. Mereka memiliki jalur pergerakan melintasi desa-desa di Bengkalis dan Siak," papar Husni. Berkat dukungan teknologi canggih yang ada, aktifitas hilir-mudik Codet dan kawan-kawan terpantau dengan baik,bahkan sesekali dilakukan monitong mengunakan drone.
Terdapat di dua kabupaten itu, kantong populasi Balai Raja dan GSK merupakan bagian diantara delapan kantong populasi yang ada di Riau. Untuk di kantong GSK terang Husni melintasi sekitar 12 desa, dan Balai Raja 18 desa. Bisa dibayangkan berapa kilometer jelajah gajah saban hari.
Kabar baiknya dalam dua tahun terakhir terjadi pertembungan gajah dari antara dua kantong populasi ini, bahkan ada gajah Balai Raja ke GSM untuk kawin setelah itu balik lagi ke Balai Raja.
Dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, kolaborasi melibatkan berbagai pihak terkait setidaknya angka lenyapnya’ gajah kini stagnan. Diperkuat data WWF angka kematian gajah menurun dimana pada 2015 ada 10 kasus, dan 2016 menurun tinggal empat kematian.
Menurut Husni, saat ini diperkirakan populasi di dua kantong GSM dan Balai Raja sekitar 60 ekor. Insiden terakhir pada 2019 terangnya, ada yang ditembak, gajah mati dan gadingnya terpotong. Siapa pelakunya sampai sekarang tak terungkap.
"Itu yang terakhir, setelah itu tak ada lagi sampai sekarang. Kami berharap jangan ada lagi, Alhamdulillah," sambung Husni. Kini di delapan kantong populasi gajah se-Riau, jumlah kawanan gajah diperkirakan 300-an ekor. Langkah serius peduli gajah seperti ditegaskan Zulhusni, tak boleh kendor.
Pengabaian dari pemangku kebijakan, pemanfaat lahan korporasi maupun perseorangan, niscaya membuat gajah lenyap tanpa sisa. Itu berkaca pada yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Gajah terakhir, satu betina dewasa yang sempat terpantau di Negeri Seribu Kubah terpaksa direlokasi ke PLG Sialang Rimbun, Kecamatan Pinggir, Bengkalis agar tetap survive.
"Ya habis, di Rohil (gajah) habis.." wajah Husni tampak muram.
Beruntung, kebijakan Chevron, dilanjutkan dengan kehadiran Pertamina memberikan dorongan energi bagi RSF dan para pihak yang melangkah pada pemulihan habitat gajah lewat program CSR yang diberikan. Pelibatan akademisi, BBKSDA Riau, dan lain-lain merupakan kerja yang tak henti dilakukan.
Analyst Social Performance Pertamina Hulu Rokan (PHR) Priawansyah menyebutkan dalam upaya perlindungan gajah sumatera PHR WK Rokan berupa dukungan sistem Agroforestri.
Kinerja unggul PHR terangnya juga tercermin dari komitmen untuk menjaga lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati, di sekitar wilayah operasinya.
PHR berkolaborasi dengan RSF dan BBKSDA Riau saat ini menjalankan program untuk memulihkan habitat gajah Sumatra dan upaya memitigasi konflik dengan manusia.
"Namanya sistem agroforestri di habitat gajah. Masyarakat yang bermukim atau bercocok tanam di sekitar jalur perlintasan gajah didorong dan diberikan pendampingan untuk menanam tanaman-tanaman yang tidak disukai gajah, namun tetap bernilai ekonomis. Di antaranya kopi, jengkol, petai, alpukat, gaharu, kakao, cabe, nilam, durian, dan lemon," katanya.
Prea, panggilan akrabnya, menyebutkan sistem Agroforestri diharapkan dapat meminimalisasi konflik gajah-manusia yang dipicu masalah kerusakan tanaman dan kerugian masyarakat. "Kita tak ingin lagi mendengar kabar gajah mati akibat konflik dengan manusia," tukasnya. Sistem ini mengedepankan pendekatan partisipatif yang sekaligus berkaitan dengan peningkatan ekonomi dan ketahanan pangan. Kontribusi Pertamina pada upaya perlindungan gajah seperti dijalankan RSF tak semata agroforestry saja, mengingat ada Langkah strategis yang perlu terus dijalankan termasuk soal pengantian GPS Collar yang battery-nya perlu diganti pasca tiga tahun tepatnya pada 2022 nanti. "Tujuan penting dari keterlibatan PHR dalam hal ini tidak ada lagi gajah yang mati karena faktor non alami, mendorong harmonisasi kehidupan manusia dengan habitat gajah," katanya.
Editor: Eka G Putra