Hadir dalam kesempatan itu, seniman Suharyoto. Di atas panggung sederhana, bersettingkan batang kayu kering, dengan cirinya yang khas, Mas Aryo sapaan akrabnya itu membacakan sebuah sajak berjudul “Orang-orang makan asap”. Pekik dan teriaknya membahana, membangkitkan kegeraman-kegaraman yang lain pula di pendengaran pengunjung. “Mengelola negara ini jangan seperti mengeloka komedi putar. Mengelola anggaran jangan sama dengan menulis berita di Koran,” pekik pelaku metateater itu.
Bagi Boy, salah seroang anggota Walhi, masyarakat tidak boleh diam dalam menyikapi persoalan bencana asap di Riau. ada banyak hal yang bisa dilakukan, melalui gerakan turun ke jalan, menggelar kampanye publik, meminta dan memaksa agar negara, koorporasi untuk memulihkan kondisi hari ini.
“Makanya masyarakat tidak boleh tinggal diam, membiarkan bencana ini terjadi dari tahun ke tahun. Persoalnnya banyak sekali, mulai dari kekeliruan perizinan yang diberikan pemerintah, terutama membakar lahan gambut yang tentu saja sukar untuk dipadamkan. Saya kira inikan sebuah kebijakan yang tak masuk akal,” ucapnya seraya menambahkan harus digelar gerakan sosial yang cukup besar lagi guna meneriakkan harapan kita untuk meminta asap jangan sampai datang lagi di tahun berikutnya, bila perlu gunakan hak konstitusi, gabung bersama-sama untuk menggugat dan berjuang melawan asap.
Hadir juga bebrapa orang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) malam itu yang ikut menyuarakan kegeraman mereka. Akibat asap kata salah seorangnya, Alvin sekolah jadi libur, hampir sebulan penuh para siswa-siswi tak masuk sekolah. Baginya Alvin dan kawan-kawan, jelas hal itu sebenarnya adalah kerugian yang sangat besar bagi siswa-siswi.
Selain itu, bencana asap juga dapat mengganggu psikologi masyarakat seperti yang dikatakan Sigit, salah seorang anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Katanya, kalau bicara psikologi, mahluk hidup termasuk manusia, tentulah psikologinya terganggu akibat bencana asap. Seperti dicontohkannya, fungsi intelektual masyarakat semakin rusak dan berkurang.
“Secara emosional, kita punya masalah. Bahwa orang normal itu harus berimbang tetapi boleh didengar dan dilihat, hampir setiap hari pertemuan kita dimulai dengan keluhan kabut asap. Belum lagi, orang-orang tua yang stress, tidak bisa menitipkan anak-anak mereka guna melakukan aktivitas atau pekerjaan mereka,” ujar Sigit.
Sementara itu, budayawan Riau, Al azhar berujar dalam pertemuan di gerakan Revolusi Langit Biru itu, bahwa kondisi hari ini, diantara kabut asap yang menelungkup Riau sebenarnya memperlihatkan betapa kebudayaan negeri sedang berada dalam sakit parah.
“Asap yang membuktikan bahwa kebudayaan kita sedang sakit parah. Kita menjadi korban dari ketidaksadaran kita yang lebih banyak alfanya. Dari perspektif kebudayaan, bencana ini adalah perbuatan bersama. Makanya, inilah saatnya berhenti saling menyalahkan. Mari melakukan perubahan kebudayaan. Mengembalikan kehidupan kepada peradaban sebenarnya. Selalu saya tegaskan di berbagai pertemuan, tahun 2015 ini adalah tahun nol peradaban karena kita telah berkoar selama belasan tahun dan kita seperti tidak sadar. Kita harus melakukan semua upaya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi asap di tahun-tahun yang akan datang,” ucapnya.