“Berlaku kata adat yang tua tempat bertanya,” ujarnya lagi. Sementara di desa lainnya di Bengkalis yakni Desa Pedekik tradisi ini berlangsung 6 hari karena ada 300 rumah warga di sana. Maka satu hari minimal 50 rumah harus terkunjungi. Dengan tradisi ini maka seluruh keluarga di satu kampung itu saling mengenal bukan saja anak kemenakan tetapi juga menantu. “Saya bahkan lebih dikenal warga di sini ketimbang di kampung saya sendiri,” ujar Dr Zuhairyansah Nasution.
Istrinya asli dari Desa Pedekik Bengkalis. Dosen UIN ini dalam bincang ringannya dengan Riau Pos mengatakan bahwa tradisi ini banyak manfaat positifnya. Di antaranya terjalin rasa kekeluargaan yang amat kuat. “Jadi saling mengenal sehingga dimanapun merantau kita punya banyak kenalan dan saudara asal daerah ini dengan terus terpeliharanya tradisi ini,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, bila ada informasi negatif terhadap seseorang dalam komunitas ini baik di perantauan atau di kampung maka hal itu dapat terklarifikasi dengan adanya tradisi ini. “Biasanya setelah diklarifikasi isu negatife itu lalu nanti tetua setempat memberikan nasihat yang bermanfaat bagi semua peserta Bara’an itu,” ujarnya.
“Selain itu kita jadi terus menjaga diri dari hal negatif karena bila lakukan hal itu membuat kita berhadapan dengan sanksi sosial seperti jadi pembicaraan orang ramai gitu,” ujarnya. Menurutnya tradisi ini sungguh tepat karena Bengkalis merupakan wilayah pulau yang mudah dijangkau oleh siapa saja yang melintasi perairan.
“Jadi bila ada orang asing yang transit sangat mudah dikenali karena biasanya warga sudah saling mengenal. Jadi bila ada yang tak kenal maka itu dipastikan orang asing yan sedang transit,” ujarnya lagi. Dan ini, lanjutnya lagi, memudahkan kordinasi dengan aparatur setempat bila ada orang asing yang mencurigakan. Semisal pengedar narkoba atau orang-orang yang dicurigai akan melakukan tindakan radikalisme.
Jadi, lanjutnya, meski tradisi itu bersifat tahunan tapi dalam setahun itu dampaknya terasa. “Kita mudah membedakan mana yang warga dan mana yang pendatang. Sehingga bila ada isu-isu negatif tentang suatu hal akan mudah dilacak datangnya dari warga atau para pengunjung yang datang ke sana,” ujarnya lagi.
Sementara itu seorang warga Amarudin seorang tenaga pendidik di salah satu daerah terpencil di Kecamatan Bantan Bengkalis saat diwawancara mengatakan bahwa para perantau yang lahir dan besar di Bengkalis pasti akan merindukan momen Bara'an itu. Magnet kebersamaan yang sulit untuk dilupakan. Dan jelas tidak ditemukan di daerah lainnya. Yang barangkali hanya satu-satunya di Indonesia.
Momen itu secara tidak langsung menjaga tali persaudaraan dan kebersamaan antar warga terus terjaga erat. Baik di Kota maupun desa terpencil di Pulau Bengkalis, sama-sama secara sukarela dan bahagia melaksanakannya. Manfaatnya, lanjut Amarudin, tidak mudah orang diadu domba oleh informasi bohong yang mungkin saja beredar di tengah masyarakat.
“Pada momen ini selain saling bermaafan juga jadi kesempatan untuk saling bertukar kabar dan juga mengklarifikasi bila ada informasi tentang suatu hal. Baik berkenaan dengan masalah sosial juga masalah lainnya,” ujarnya. Dengan demikian, lanjutnya, bila ada prasangka seseorang atau sekelompok orang pada orang lainnya terutama yang satu daerah, pada kesempatan itu dapat terklarifikasi.
Sementara itu, Dinawati dari Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Riau yang juga asal Bengkalis mengatakan bahwa tradisi lokal turun-temurun itu benar-benar positif. “Para perantau macam kami ini merasa sangat rugi bila tidak pulang kampung dan tak ikut tradisi itu,” ujarnya pada Riau Pos. Menurutnya tradisi ini terus terjaga hingga kini dan mampu membangun hubungan silaturahmi yang erat.
“Yang paling penting itu dengan kearifan lokal ini mampu mencegah munculnya hoak, fitnah, adu domba dan juga disrupsi informasi dan sejenisnya dalam kehidupan sosial yang bisa merusak harmonisasi kehidupan bersama di dalam masyarakat,” ujarnya.***