Membendung Prasangka, Membangun Percaya

Feature | Senin, 28 Oktober 2019 - 11:14 WIB

Membendung Prasangka, Membangun Percaya
TRADISI BARA’AN: Warga Dusun Sei Yap Darat Desa Pangkalan Nyirih bersiap melakukan tradisi baraan. (INTERNET)

Kearifan lokal bukan sekadar ritual tahunan. Tradisi Bara’an di Bengkalis Riau misalnya.  Di kalangan Melayu Riau, terutama di Pulau Bengkalis, ada sebuah tradisi turun-temurun hingga kini masih dikerjakan saat Lebaran Idul Fitri. Bara’an sebuah tradisi silaturahmi berjama’ah (berombongan) ke seluruh rumah warga di suatu kampung di wilayah itu.

Laporan Helfizon Assyafei, Bengkalis


Ketika itu 1 Syawal 1441 di Desa Bantan Bengkalis. Suasana meriah. Setelah sholat Idul Fitri dilaksanakan, masyarakat muslim di Bengkalis dan sekitarnya berkumpul di masjid atau mushola untuk membaca tahlil dan doa untuk dikirimkan kepada para arwah kaum muslimin dan muslimat yang telah meninggal dunia khususnya pada pendahulu dan tetua di kampung. Setelah itu dilanjutkan dengan acara kunjung-mengunjungi (baraan) rumah-rumah penduduk yang ada di kampung.
 
Seluruh jamaah yang ikut dalam acara baraan singgah dan menyambangi setiap rumah penduduk satu persatu untuk bersilaturahmi, menikmati juadah yang disediakan tuan rumah, pembacaan doa selamat oleh seorang imam (khalifah-red) dan ditutup dengan saling bersalaman dan saling memaafkan dengan tuan rumah. Begitulah seterusnya sampai semua rumah penduduk (jiran dan tetangga-red) yang ikut dalam kegiatan ini dikunjungi.
 
Erwan (38 th) ketika itu satu di antara rombongan yang sedang melakukan tradisi Bara’an. Ia mendengar informasi negatif tentang seorang temannya. Infonya dia dicurigai ikut aliran tertentu. Pasalnya, temannya itu diketahui pulang ke kampung tetapi tidak lagi mau mengikuti tradisi itu. Ia berubah 180 derjat. Konon kabar angin yang ia dengar temannya mengkuti pengajian tertentu yang melarang mengikuti tradisi yang bertentangan dengan perintah agama.

“Ya menurut infonya ia tidak mau ikut Baraa’an karena banyak bersalaman dengan yang bukan muhrim bersalaman dan itu haram,” ujar Erwan dalam bincang ringannya dengan Riau Pos. Desas-desus dan prasangka pun mulai merebak. 

“Jangan-jangan ia terpapar radikalisme,” ujar Erwan yang menirukan ucapan orang-orang kampungnya. Untunglah sebelum prasangka ini makin melebar, pada hari kedua ternyata ia muncul dan ikut kembali tradisi lokal tersebut.

Erwan yang merupakan sahabatnya itu penasaran. Dan mencari tahu lebih jauh soal informasi negatif yang menimpa temannya itu. Dari bincangnya dengan Mudin sang temannya itu baru ia tahu bahwa pandangan Mudin berubah setelah diberi pandangan oleh tuan guru dan tetua setempat.  “Saya sadar saya yang salah bersikap,” ujarnya pada Erwan.

Menurut Mudin Bara’an itu positif. Sedangkan soal bersalaman itu soal teknis. “Jika ada yang dikunjungi dalam Bara’an itu yang tergolong bukan muhrim kan tak perlu berjabat tangan cukup dengan menyatukan telapak tangan di dada sebagai isyarat bersalaman untuk menjaga silaturahmi,” ujarnya lagi. Dengan hadirnya kembali Mudin pada kesempatan hari kedua Bara’an maka semua informasi negatif, berita bohong dan prasangka yang terlanjur berkembang akhirnya terklarifikasi dengan baik. Prasangka tak sempat berkembang lebih luas lagi.

“Ini manfaat positif dari Bara’an. Adanya komunikasi dua arah dan juga arahan dari para tuan guru khalifah serta tetua adat sehingga anak kemenakan yang punya pendapat berbeda dapat tunjuk ajar yang lebih luas,” ujar Muslim seorang guru agama di tempat itu. Jadi, lanjutnya, tradisi ini tidak semata seremonial kunjung mengunjungi saja tetapi juga sarat dengan nilai-nilai edukasi.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook