Pertama di Riau, Komunitas Tuli Lancang Kuning (Kutilang) memberdayakan ratusan penyandang disabilitas tunarungu dan melahirkan juru bahasa isyarat (JBI). Keberadaannya mampu mengajarkan artinya keberagaman, kebersamaan dan menjadi harapan bagi mereka untuk tumbuh gemilang. Nilai-nilai positif yang dianut bagai lentera yang menerangi dalam kegelapan.
Laporan: Panji Ahmad Syuhada (Pekanbaru)
API semangat menggelora di sanubari Santi. Derap langkah optimis menyelimuti helaan nafas di setiap aktivitas. Mimpi besarnya satu persatu pun terwujud, salah satunya melihat para disabilitas tunarungu di Negeri Melayu punya harapan baru.
14 April 2019 menjadi sejarah dimulainya tonggak baru peradaban kemajuan bagi tunarungu di Riau. Jauh sebelum wabah Covid-19 melanda, para disabilitas tunarungu atau akrab disapanya teman tuli ini mendapatkan jati diri.
Lewat Komunitas Tuli Lancang Kuning (Kutilang), perempuan pemilik nama lengkap Santi Setyaningsih mulai bergerilya memperkenalkan misi, mengajak teman tuli bergabung untuk berkreasi dan belajar bersama. Dalam wadah itu, teman tuli yang dominan remaja perempuan diajarkan bahasa isyarat Indonesia secara gratis. Santi mengambil peran penting dalam setiap proses pemberdayaan disabilitas tersebut.
Akhir pekan pun tiba, ini menjadi waktu yang ditunggu-tunggu bagi teman tuli di Riau, sebab itulah jadwal mereka dikumpulkan untuk belajar bersama, saling berbagi dan bersinergi.
"Saya berkeinginan mewujudkan akses layanan publik dan informasi yang ramah bagi teman tuli," tutur Santi, mengawali perbincangan lewat layanan aplikasi WhatsApp, kepada Riaupos.co, Kamis (19/11/2020).
Santi merupakan salah satu penyandang disabilitas tunarungu, dia pun merasakan hal yang serupa dengan teman tuli lainnya. Bahkan berbincang dengan Riaupos, dirinya lebih memilih lewat aplikasi perpesanan, lantaran terkendala dengan metode komunikasi suara.
Saat pindah ke Riau, tepatnya di Kota Pekanbaru pada penghujung 2018, Santi mengaku sempat kewalahan untuk mengakses informasi layanan publik seperti di tempat dan fasilitas umum yang ada di bumi lancang kuning.
"Saat itu belum banyak fasilitas yang ramah untuk disabilitas," katanya.
Maka hal itulah yang menjadi motivasi dia untuk membuat sebuah perkumpulan yang pada akhirnya concern terhadap peningkatan pengetahuan dan keinginan untuk maju bagi teman tuli di Riau. Pada mulanya, 2018 itu belum ada komunitas disabilitas yang berkembang, hingga akhirnya dia membuka wadah tersebut dengan semangat yang menggelora.
Sebelum hijrah dan menetap di Riau, Santi merupakan penduduk Yogyakarta. Di kota pendidikan itulah, Santi bersama sang suami Faqi Asnan ditempah. Ilmu dan pengalamannya di sana diaktualisasikan di tempat barunya tersebut.
Dibalik semangat dan keceriaan yang selalu terpancar dari perempuan tersebut, ada peran besar suami, Faqih yang terus memotivasi dirinya. Dibantu suami dan para sejawat, akhirnya Kutilang Riau mampu berkembang dengan baik hingga saat ini.
Sekarang, Santi merupakan warga Riau yang sudah tinggal menetap di Jalan Berdikari, Kelurahan Umban Sari, Kecamatan Rumbai, Kota Pekanbaru. Di lingkungan yang asri dan cukup tenang dari hiruk-pikuk perkotaan itulah, aktivitas teman tuli sebelum wabah Covid-19 melanda masih rutin dilakukan. Rumah tersebut menjadi base camp dan tempat seluruh aktivitas kutilang berjalan selama ini.
Namun saat Covid-19 mulai mewabah, seluruh sektor terganggu, tak terkecuali kegiatan Kutilang Riau tersebut. Namun semangat penulis Aku Bangga Menjadi Tunarungu 2015 dan Sunyi yang Berarti 2020 ini masih terus terpatri. Ada saja cara dan pola yang diterapkannya untuk dapat tetap berbagi dan bersinergi dengan teman-teman tuli di kala pandemi.
Santi sendiri mencatat, hampir dua tahun Kutilang didirikan ada sebanyak 118 teman tuli yang tergabung dalam wadah peningkatan kompetensi bagi disabilitas tunarungu di Riau tersebut. Aktivitasnya, mula-mula para teman tuli diajarkan memahami bahasa isyarat Indonesia (Bisindo), kemudian mengajarkan kebersamaan dan juga mengenalkan artinya kekeluargaan.
"Anggota Kutilang Riau sekarang sudah 118, ada 4 orang guru tuli dan 6 pengurus inti," paparnya.
Inovasi pendidikan sekaligus pemberdayaan bagi tunarungu yang dilakoninya dengan metode pembelajaran bahasa isyarat teori itu kaya akan visualisasi. Di sinilah para teman tuli mulai mendapatkan jati diri, mereka pun lebih aktif dan mampu mengakses layanan publik dengan baik. Menurut Santi, teman tuli ini yang paling rentan dalam memahami literasi.
"Itu kenapa saya membangun wadah Kutilang Riau, supaya teman tuli bisa berkembang dan masyarakat teredukasi dengan baik apa kebutuhan dari teman disabilitas tersebut. Mereka awalnya kesulitan mengakses informasi termasuk akses layanan publik. Jadi kalo teman tuli mau mengakses layanan informasi itu dia sebenarnya butuh juru bahasa isyarat (JBI) bukan juru bicara isyarat. Di Riau belum ada JBI sama sekali, maka Kutilang Riau inilah yang pertama melahirkan JBI di Provinsi Riau," kata dia.
Hak-hak Disabilitas Terpenuhi
Sejalan dengan itu, para disabilitas tunarungu di Bumi Lancang Kuning mulai terakomodir. Keinginan dan minat teman tuli tersebut satu persatu terpenuhi, keberadaannya pun semakin diakui dan terbilang. Berkat Santi, mereka yang terlahir istimewa dan sedikit berbeda dengan orang pada umumnya kini lebih percaya diri.
Perempuan penggagas komunitas tersebut juga merasa senang. Sebab hampir seluruh akses layanan publik di Riau kini hampir rata sudah bisa di akses oleh teman tuli. Mereka pun tak lagi kesusahan dalam mengakses dan memahaminya. Itu merupakan suatu capaian dari manfaat keberlanjutan yang diharapkan Kutilang tersebut.
Era pandemi Covid-19, teman tuli sering diberdayakan pemerintah untuk menjadi juru bahasa isyarat dalam beberapa aktivitas, bahkan tayangan layanan masyarakat mereka dilibatkan, terutama terkait update informasi Covid-19 di Riau. Begitu pun di tengah masyarakat sendiri, kehadiran mereka menjadi senyawa baru melengkapi sendi-sendi kehidupan.
Sebelum itu, Kutilang rajin berbagi dengan masyarakat tentang pentingnya keberadaan teman tuli di lingkungan. Seluruh kegiatan besar hampir dijalani, seperti sosialisasi ke kampus-kampus ternama, kunjungan organisasi, memberi sosialisasi di kegiatan car free day, hingga memenuhi undangan media sebagai narasumber.
Baru-baru ini, perusahaan penyedia jasa layanan ojek online di Pekanbaru turut menggandeng teman tuli untuk mengajarkan bahasa isyarat kepada para driver-nya. Ini merupakan bentuk kemajuan yang perlu diapresiasi, bahwa kehadiran teman tuli berguna bagi semua kalangan masyarakat.
"Kami mengajarkan mengenai cara berkomunikasi dengan tuli, budaya tuli dan bagaimana seharusnya melayani customer tuli. Pelatihan dasarnya berupa abjad A sampai Z," kata Santi.
Jasa layanan milik swasta tersebut mulai berbenah, tujuannya agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman apabila menerima customer penyandang disabilitas tuli. Serta memberikan kesadaran kepada penyedia jasa ojek online bahwa pelanggan tuli mesti setara.
"Jadi inilah cara kita mewujudkan lingkungan yang inklusif yang ramah disabilitas," tuturnya.
Raih Juara 3 Pemuda Pelopor Nasional
Dedikasi dan inovasinya terhadap para teman tuli di lingkungannya tersebut mengantarkan Santi menjadi Pemuda Pelopor Nasional 2020. Di bidang pendidikan itulah, Santi dihadiahi predikat juara 3 pada ajang yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia.
Bertepatan momen sumpah pemuda, Kemenpora memberikan apresiasi terhadap para kaum muda lewat dedikasinya untuk negeri. Santi menjadi perempuan penyandang disabilitas satu-satunya dari seluruh penjuru negeri yang telah berdedikasi dan menyumbangkan idenya untuk kemajuan negeri.
"Keinginan saya kuat, untuk sama-sama bersinergi mewujudkan lingkungan yang inklusif yang ramah terhadap disabilitas," katanya lagi.
Komunitas tuli lancang kuning yang didirikannya tersebut merupakan implikasi dari bentuk kesulitan para teman tuli yang ada di Riau untuk mengakses informasi dan layanan publik. Hal itulah yang menggerakkannya untuk berbuat dan berbagi.
Bagi Santi, dalam hidup yang terpenting bukan apakah memang ataupun kalah. Justru berbuat dan berjuang menjadi kunci untuk meraih segala sesuatu yang diimpikan.
"Bagaimana kita menjalankan hidup itu yang penting bukan apakah kita menang atau kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga yang kalah pun bukan berdosa. Yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tidak," tuturnya memotivasi.
Editor: Eka G Putra