PARA PEREMPUAN TANGGUH DI MEDAN PERANG COVID-19

Redam Rasa Takut demi Hak Kemanusiaan

Feature | Rabu, 25 November 2020 - 12:23 WIB

Redam Rasa Takut demi Hak Kemanusiaan
Rosmiati

Sederet perempuan tangguh muncul di medan perang melawan pandemi Covid-19. Ditolak warga, tetangga hingga keluarga sendiri mereka alami. Tak sedikit yang khawatir virus itu akan menyerang diri dan keluarganya.  Sebagai perempuan, naluri keibuan terpaksa mereka singkirkan demi menolong sesama.

Laporan: Muhammad Amin (Inhil)


Seorang ibu muda, Sukiyem (37) ketakutan ketika rumahnya didatangi sekelompok orang berpakaian putih-putih mirip astronot. Dia menolak didatangi petugas medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap level 3. Ketika itu, April 2020, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) memang sudah memasuki zona merah penyebaran corona virus desease-19 (Covid-19). Para petugas puskesmas tetap harus melayani masyarakat dengan datang ke rumah-rumah mereka.

Tapi kedatangan empat petugas perempuan itu spontan mendapat penolakan. Informasi penyebaran virus yang masif dan cerita tentang para petugas berseragam "astronot" mengundang ketakutan tersendiri bagi warga Desa Pengalihan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau itu. Tapi ketika masker dan face shield dibuka, Sukiyem pun kenal sosok di balik pakaian itu.

"Setelah tahu, ketakutan beliau mereda," ujar bidan Desa Pengalihan Keritang, Rosmiati kepada Riau Pos, Sabtu (21/11) lalu.

Rosmiati memang biasa mendatangi  rumah-rumah warga. Tapi kali ini, kedatangannya dengan pakaian yang berbeda. Sejak Kabupaten Inhil memasuki zona merah penyebaran Covid-19, memang ada standar pakaian petugas medis ketika melakukan penindakan. Standar APD berbeda pada pelayanan yang bukan penindakan. Kedatangan tim Puskesmas Pengalihan ketika itu adalah penindakan yakni melakukan imunisasi. Sukiyem merupakan ibu muda yang memiliki balita dan akan dilakukan imunisasi. Makanya, pakaian petugas medis adalah APD lengkap yang "menakutkan" itu. Penolakan pun terjadi.

Tapi mereka kemudian diterima setelah dijelaskan tentang standar petugas medis. Apalagi, ketika itu, di wilayah kerja Puskesmas Pengalihan terdapat dua warga yang positif Covid-19 setelah dilakukan tes usap atau PCR swab. Satu warga di Desa Pengalihan, satu lagi di Desa Pancur. Puskesmas Pengalihan sendiri melayani enam desa, yakni Pengalihan, Pancur, Nyiur Permai, Sencalang, Petalongan, dan Teluk Kelasa. Secara umum, desa-desa di Kabupaten Inhil memiliki medan yang berat. Terpisah satu sama lainnya dengan sungai-sungai kecil, yang sering disebut dengan seribu parit. Kawasan-kawasan itu yang harus didatangi petugas medis. Jaraknya berjauhan. Banyak yang harus didatangi dengan menggunakan pompong atau sampan bermesin. Untuk janjian dengan warga pun kadang sulit.

"Tidak banyak yang punya smartphone (telepon pintar). Bahkan banyak yang sama sekali tidak punya ponsel. Makanya kami langsung datang saja tanpa janjian dan mereka awalnya tidak kenal," ujar Rosmiati.

Rosmiati bertugas sebagai bidan puskesmas yang khusus program pelayanan ibu-ibu. Mulai dari calon pengantin, awal pernikahan, hamil, melahirkan, hingga balita adalah urusannya. Mulai penyuluhan hingga membantu melahirkan jadi tanggung jawabnya. Jika melakukan penyuluhan, dia cukup memakai APD standar yakni masker bedah, field shield, dan sarung tangan. Tapi dalam hal penindakan, harus APD lengkap, termasuk hazmat dan sepatu bot. Kondisi ini yang mengundang ketakutan sejumlah warga.

Redam Kekhawatiran demi Hak Perempuan
Sebenarnya, tak hanya Sukiyem dan warga lainnya yang khawatir pada pandemi Covid-19 ini. Para tenaga kesehatan (nakes) juga mengalami hal yang sama. Bahkan mereka lebih rentan. Mereka juga lebih tahu persis bahaya virus ini. Di awal, APD sangat minim dan mereka sempat harus menggunakan jas hujan saja selama sekitar satu bulan. Apalagi mereka juga punya keluarga yang menunggu di rumah, dan kapan saja bisa berinteraksi. Bukan tidak mungkin para nakes ini menjadi pembawa virus (carrier) bagi keluarganya.

Tapi, para nakes ini juga menyadari hak-hak kaum perempuan di desa-desa terpencil itu yang harus dilayani. Mereka tetap perlu imunisasi pranikah, melahirkan, perawatan setelah melahirkan, dan lainnya. Mereka juga memerlukan penyuluhan, edukasi dan berbagai pencerahan tentang keselamatan ibu dan anak, reproduksi, serta hal-hal lainnya terkait kesehatan keluarga. Sebab, ibu adalah benteng kesehatan keluarga. Lewat kaum ibu inilah anggota keluarga akan sehat, pertumbuhan anak dan balita lebih baik dan generasi bangsa tidak hancur. Kaum ibu yang menjadi guru, pendidik, dokter, dan perawat pertama bagi anak-anak. Hak-hak dasar anak ada pada mereka. Ibu-ibu di pedesaan apalagi. Informasi tentang kesehatan mereka sangat minim. Akses ke internet terbatas, jarak pun saling berjauhan. Nakes dan bidanlah yang mereka harapkan. Semuanya akan berantakan jika para nakes dan bidan justru lebih takut dan khawatir pada Covid-19 dan enggan melayani.

"Kami disarankan untuk melakukan sosialisasi itu secara daring (online). Tapi banyak yang tidak punya smartphone (ponsel pintar). Jadinya, ya tetap kami harus datang. Begitu juga imunisasi. Harusnya dibuka posko. Tapi karena pandemi, kami harus datang dari rumah ke rumah satu per satu," ujar Rosmiati.

Bagaimanapun, Rosmiati merasa khawatir pada diri dan keluarganya. Apalagi saat ini dia sedang hamil tua, anak keduanya. Kekhawatiran makin bertambah. Dia bahkan sempat mengalami pendarahan dan harus istirahat total (bed rest) selama sekitar tiga bulan, akhir Mei hingga awal Agustus 2020. Di awal-awal kehamilan, dia masih sempat melayani pasien, bahkan bertugas tak kenal waktu. Tidak hanya sebagai bidan, tapi juga petugas medis yang berkaitan dengan Covid-19.

"Bagaimanapun ada kecemasan juga. Tapi ini tugas yang harus dilakukan. Kesehatan kaum ibu dan perempuan harus diperhatikan," ujarnya.

Sejak Inhil dan beberapa kabupaten di Riau memasuki zona merah Covid-19, maka dilakukan pengetatan masuk wilayah. Satgas Covid-19 memeriksa dengan ketat mereka yang di perbatasan. Satgas menugaskan puskesmas di sekitar perbatasan, termasuk para bidannya, para perempuan. Rosmiati pun harus ikut bertugas 24 jam dengan tiga sif. Satu sif delapan jam. Ada sif pukul 8.00-14.00 WIB, atau 14.00-21.00 WIB. Sif 21.00-8.00 WIB untuk petugas lelaki.

"Pulang pukul 9 malam (21.00 WIB) sudah biasa," ujarnya.

Jika petugas medis cukup khawatir pada penyebaran Covid-19, justru ada masyarakat yang santai saja. Dari pengalamannya melakukan sosialisasi, ada tiga kelompok masyarakat. Mereka yang khawatir berlebihan, biasa saja, dan tidak percaya. Disebutkannya, orang-orang Jawa cenderung khawatir. Orang Melayu biasa saja dan orang Bugis cenderung justru tak percaya ada virus bernama Covid-19.

"Padahal kami terus melakukan sosialisasi tentang bahaya Covid-19 ini. Tapi tiap orang memang beda-beda tanggapannya," ujarnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook