PARA PEREMPUAN TANGGUH DI MEDAN PERANG COVID-19

Redam Rasa Takut demi Hak Kemanusiaan

Feature | Rabu, 25 November 2020 - 12:23 WIB

Redam Rasa Takut demi Hak Kemanusiaan
Rosmiati

Perjuangkan Hak Perempuan Pelosok
Sebelum menjadi bidan puskesmas di Kecamatan Keritang, Rosmiati adalah bidan di Desa Tunggal Rahayu Jaya, Kecamatan Teluk Belengkong, Kabupaten Inhil. Dia menjadi bidan desa atau bidan pos kesehatan desa (poskesdes). Bidan desa jauh lebih kompleks dibandingkan bidan puskesmas. Dia hanya sendirian di sebuah desa yang terisolir. Tugasnya tak hanya satu yakni membantu melahirkan, tapi semua problematika kesehatan masyarakat desa. Dari flu hingga gagal jantung jadi urusannya. Tapi prioritas tetap untuk kaum perempuan desa.

Rosmiati pun membuat terobosan untuk menjaga nyawa kaum perempuan di sana. Sebab, Desa Tunggal Rahayu Jaya sangat jauh dari rumah sakit rujukan. Padahal jika terjadi kondisi darurat, maka harus dirujuk. Rumah sakit terdekat adalah RS Raja Musa di Kecamatan Guntung. Waktu tempuhnya dua jam perjalanan menggunakan pompong (sampan mesin). Bisa juga ke rumah sakit rujukan kabupaten, RS Puri Husada di Tembilahan, yang jarak tempuhnya tiga jam perjalanan di laut. Masalah jarak dan waktu tempuh ini yang sering jadi kendala ketika pasien harus dirujuk.


"Ada dua perempuan dan dua bayi di desa ini yang meninggal selama setahun karena terlambat dirujuk. Ini angka yang tinggi," ujar Rosmiati.

Untuk memperjuangkan hak hidup para perempuan desa itu, dia membuat beberapa terobosan. Hal itu dilakukan karena rata-rata warga desa tergolong miskin. Tidak punya simpanan uang untuk bekal kelahiran anak. Rata-rata warga bekerja sebagai buruh kelapa. Di antara terobosan yang dilakukan adalah membuat tabungan ibu bersalin (TIB). Jumlahnya Rp350 ribu selama kehamilan. Bisa Rp5 ribu per hari atau kurang dari itu. Ada juga tabungan dana sehat (TDS) untuk semua warga, tak hanya ibu hamil. Jumlahnya Rp2 ribu per hari. Tujuannya sama, untuk kondisi darurat. Biaya kesehatan memang sudah dijamin BPJS. Tapi tidak untuk transportasi menuju rumah sakit. Sebagai catatan, jika kondisi darurat, maka pasien harus dibawa ke rumah sakit rujukan. Tentu tidak bisa dengan transportasi reguler jika waktu tidak tepat. Malam hari misalnya. Harus carter (sewa). Biaya carter ke Tembilahan Rp2,5 juta di siang hari dan Rp3 juta di malam hari.

"Untuk itu ada juga program ambulans desa," ujar Rosmiati.

Ambulans desa bukan seperti ambulans umumnya. Ini adalah pompong nelayan atau milik tauke kelapa yang digunakan untuk alat transportasi. Dilakukan MoU antara pemilik pompong, bidan dan pasien ketika sudah diketahui hamil. Dalam kondisi darurat, maka pompong bisa digunakan. Ada tiga pompong yang bisa digunakan dan sudah MoU dengan bidan desa. Uang yang ada digunakan sekadar membeli bahan bakar. Jika tak ada kondisi darurat, maka tabungan paling tidak untuk biaya ultrasonografi (USG) di RS Raja Musa, Guntung. Dari USG bisa diketahui kondisi ibu dan bayi. Jika anemia, preeklemsia atau sungsang, maka harus bersiap ke rumah sakit, tidak bisa ditangani bidan desa.

"Ini demi nyawa perempuan yang tak boleh hilang sia-sia," ujar Rosmiati.

Dua Bulan Tak Jumpa Keluarga
Perempuan tangguh lainnya adalah Dewi Andriani. Dewi harus rela tak berjumpa dengan dua buah hatinya selama dua bulan demi melayani pasien Covid-19. Dewi adalah perawat di ruang pinere, isolasi Covid-19 RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Sebagai orang yang tiap saat bertemu dan melayani pasien Covid-19, tentu ada kerentanan tersendiri. Penolakan juga sempat terjadi pada dia dan 40 rekan-rekannya ketika akan pulang ke rumah.

"Sempat juga ditolak keluarga dan tetangga ketika mau pulang. Sekarang anak-anak terpaksa diungsikan ke tempat neneknya," ujar Dewi.

Jangankan keluarga dan tetangga, teman sesama perawat pun khawatir kepada petugas di ruang isolasi ini. Mereka dijauhi. Untuk pinjam pena saja mereka khawatir. Diceritakan Dewi, demi berkonsentrasi pada tugas, para perawat Covid-19 yang mayoritas perempuan ini tidak pulang ke rumah. Tidak ada juga penginapan lainnya. Mereka terpaksa menginap di ruangan VIP Cempaka di RSUD Arifin Achmad, yang ketika itu tak digunakan pasien. Kondisi ini terjadi sekitar 1,5 bulan. Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah belum adanya laboratorium biomolekuler di Pekanbaru. Sampel lendir harus dibawa ke Jakarta untuk dilakukan tes usap atau PCR (polymerase chain reaction) swab. Perlu waktu 11 hari hingga dua pekan untuk mengetahui apakah seseorang positif Covid-19 atau tidak. Selama itulah mereka harus isolasi. Alasan lainnya karena tempat penginapan belum tersedia.

"Sedih juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Begitu kondisinya dan kami harus siap," ujar Dewi.

Setelah itu, barulah Satgas Covid-19 menyediakan sebuah hotel bintang empat tak jauh dari RSUD Arifin Achmad. Para perawat dan nakes lainnya pun mulai menginap di sini untuk isolasi selama menunggu hasil swab. Jika negatif, mereka baru bisa leluasa pulang saat ada jadwal penggantian. Dewi sendiri beberapa kali tes cepat (rapid) dan swab. Sempat juga statusnya jadi PDP (pasien dalam pengawasan) karena ada keluhan. Padahal ketika rapid tes nonreaktif. Hasil CT scan juga bersih. Setelah keluar swab, ternyata juga negatif.

"Selama menunggu swab itulah saya sempat juga isolasi," ujar Dewi.

Sebagai perempuan, tentu naluri keibuannya banyak bicara. Dia sangat rindu kedua anaknya. Dewi punya dua anak. Satu berumur 13 tahun sudah SMP, satu tujuh tahun. Sarana komunikasi hanya lewat telepon dan video call. Dua bulan tentu terasa sangat lama. Apalagi salah satu anaknya sempat sakit. Ingin melihat tidak bisa. Takut dia menjadi carrier yang membawa virus ini kepada sang buah hati. Apalagi, dua anaknya sudah diungsikan ke tempat nenek mereka di Bangkinang.

"Sekarang sudah bisa lihat anak. Kalau jadwal libur dua hari, bisa langsung ke Bangkinang," ujar Dewi yang ketika itu sedang berada di Bangkinang bersama anak-anaknya.

Dua pekan sekali jadwal libur tiba. Hanya dua hari. Itu setelah tes swab bisa dilakukan di RSUD Arifin Achmad, tak lagi harus ke Jakarta. Jadi hasilnya lebih cepat. Sebelum itu, dia bersama rekan-rekannya tidak berani pulang. Kembali kepada keluarga dalam kondisi tak pasti hanya akan membuat risiko tinggi bagi keluarganya.

"Interaksi kami dengan pasien positif itu bisa tiga hingga lima jam per hari. Sangat riskan kalau kami kembali kepada keluarga dalam kondisi masih belum pasti," ujar Dewi.

Dewi menuturkan, sudah banyak rekan-rekannya yang terpapar Covid-19. Bahkan hingga saat ini, ada satu kawan dekatnya. Dia sendiri masih aman. Dalam catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Pekanbaru, sudah 200 perawat positif Covid-19 di kota ini. Itu tak termasuk nakes lainnya seperti dokter dan bidan.

"Satu di antaranya meninggal dunia," ujar Ketua PPNI Pekanbaru, Dipa.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook