KEARIFAN LOKAL NELAYAN KAMPUNG BUNSUR, SIAK

Pengerih di Offshore

Feature | Kamis, 18 November 2021 - 14:01 WIB

Pengerih di Offshore
Dua nelayan di Desa Bunsur, Kecamatan Sungai Apit,Siak saat mengangkat pengerih yang mereka pasang di perairan Selat Lalang. Tak jauh dari mereka memasang alat tangkap ikan tradisional itu berdiri offshore milik PT Energi Mega Persada. (GEMA SETARA RIAUPOS.CO)

Tak terhitung  hari, waktu dan pasang surut air di Selat Lalang, selagi jasad masih bernyawa mereka tetap mengayuh sampan, mengangkat pengerih, mengambil ikan yang terjebak dalam pengerih. Kembali mengayuh ke tepian, mengumpul rezeki yang didapat, lalu dijual ataupun dikonsumsi bersama keluarga. Bertahan dengan kearifan lokal tempatan mereka seperti tak tergoda dengan maraknya alat tangkap ikan yang lebih modern.

Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru


SELAT Lalang dan  siang yang membahang. Sapuan bayu sedikit menghilang keringat di tubuhnya. Tangannya tak berhenti mengayunkan dayung, membawa sampai ke tengah Selat Lalang guna mengambil hasil tangkapan dari pengerih yang dipasang pagi harinya.

Sampan terus di kayuh, titik-titik keringat terlihat mengucur deras dari wajahnya, deru nafas semakin memburu. Penat dan letih? Itu pasti. Namun, semuanya tak pernah dipikir nelayan-nelayan pengerih. Setiap hari, sengatan matahari, deru nafas yang memburu, letih dan penat sudah jadi santapan harian mereka.

Semakin dekat dan akhirnya sampai. Saari pun mengangkat pengerih yang dibuat dari jalinan bambu. Untuk mengangkat pengerih bukanlah perkara mudah dan gampang. Tenaga ekstra kembali harus dikeluarkannya. Kembali deru nafasnya memburu saat mengangkat pengerih yang sengaja di letakkan dalam air.

Pengerih pun berhasil diangkat. Saari mencurahkan isi pengerih. Alhamdulillah ada beberapa ikan yang berhasil didapat. Tidak hanya ikan, berbagai macam sampah juga masuk dalam pengerih itu. Karena di dalam air, apapun yang lewat dekat pengerih akan masuk atau setidaknya tersangkut.

Pengerih sendiri merupakan alat tangkap ikan tradisional masyarakat diberbagai daerah di Riau, khususnya nelayan-nelayan yang bermastautin (tempat tinggal, red) di pesisir Riau seperti Siak, Bengkalis, Kota Dumai dan Kepulauan Meranti . Alat tangkap ini terbuat dari jaring dengan panjang dan lebar bervariasi.

Jaring-jaring tadi diikatkan pada dua batang kayu yang berbentuk segi empat, sehingga jaring tadi akan terbuka lebar. Semakin ke ujung, jaring tadi semakin mengecil. Dahulu, pengerih dibuat dari bambu dan rotan. Tapi karena semakin sulitnya bahan baku,  kini dibuat dari jaring. Bambu dan rotan tak digunakan lagi, kecuali untuk pranak.

Di ujung jaring yang mengecil tadi dipasang pula pranak. Di dalam pranak inilah nanti beragam jenis ikan, sampah dan sebagainya akan terperangkap. Pranak sendiri biasanya dibuat nelayan dari bambu yang mereka jalin dan bentuk seperti lukah raksasa. Panjangnya hingga dua meter, sehingga ikan-ikan yang masuk akan terperangkap.

Pengerih masih menggunakan batang kayu untuk penimbul jaringnya. Untuk bandul kiri kanan dan alang atas bawah untuk pengikat jaring masih menggunakan batang kayu mahang sebagai penimbulnya. Jaring tersebut diikat pada kayu yang sudah dibuat persegi empat.

Sedangkan untuk pundi terbuat dari buluh. Jika air surut, pranak akan timbul sendiri karena tidak ditendang oleh arus air. Jadi tak perlu harus menarik dari dalam dasar air seperti dilakukan untuk pundi gumbang. Karena terbuat dari buluh, secara otomatis saat air tenang dia akan timbul sendiri. Makanya setiap air tenang atau pasang sudah penuh, para nelayan pengerih akan turun untuk melihat isi pranak.

Desa Bunsur sendiri berada sekitar 80 Km dari ibukota Kabupaten Siak. Sementara dari Sungai Apit sebagai ibukota kecamatan, berjarak sekitar 20 Km. Dari Pekanbaru jarak desa ini mencapai 140 Km. Untuk sampai ke desa ini bisa menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua atau bisa juga melalui jalur laut.

Di perairan desa ini atau tepatnya di Selat Lalang beroperasi anjungan minyak lepas pantai milik PT EMP Malacca. Anjungan minyak ini sudah beroperasi sejak hampir 20 tahun lebih.

 ‘’Sudah sangat lama bang, Alhamdulillah, masyarakat kampung tidak pernah melakuan tindakan yang sifatnya anarkis dan selalu menjaga keberadaannya,’’ ujar Kerani (Sekretaris/Desa/Kampung) Bunsur Affarizan kepada Riau Pos.

Kehidupan masyarakat di desa ini sangat bersahaja. Rumah-rumah mereka banyak yang berdinding papan dan berbentuk panggung. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan pengerih, ada juga sebagai nelayan gumbang untuk mengolah ikan bilis, petani, berkebun dan sebagainya.

Di Luar Area

Affarizan kepada Riau Pos mengungkapkan, nelayan-nelayan yang ada di kampung sebenarnya cukup ramai, selain nelayan pengerih ada juga nelayan gumbang, operasional atau tempat mereka memasang pengerih dan gumbang memang tidak jauh dari offshore milik PT EMP Malacca. Jumlah nelayan pengerih di daerah ini mencapai 30 orang.

"Walau tidak jauh, namun wilayah operasional nelayan berada di luar area, jadi tidak berbahaya bagi nelayan itu sendiri maupun operasional offshore. Di anjungan rig itu juga ada pemberitahuan jarak aman nelayan untuk beroperasional menangkap ikan, jadi mereka sudah paham semua terkait hal ini," ujarnya.

Pihaknya, tambah Affarizan lagi selalu mengingat masyarakat maupun nelayan untuk sama-sama menjaga aset negara tersebut, hanya saja dia berharap pihak perusahaan juga hendaknya memperhatikan kondisi masyarakat di mana mereka beroperasional.

Terlebih kehidupan nelayan-nelayan rata-rata masih memerlukan bantuan, ditambah lagi hasil tangkapan sudah jauh menurun jika dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

"Tangkapan sudah sangat menurun, karena para nelayan sangat memerlukan bantuan," ujarnya.

Dia berharap kalau nanti ada bantuan baik dari perusahaan maupun dari pemerintah kabupaten sebaiknya nanti berupa alat tangkap atau kapal pompong, sehingga bantuan itu bisa dimanfaatkan para nelayan dalam jangka waktu lama.

"Pernah nelayan menerima bantuan, hanya saja itu sudah lama sekali. Kami berharap kalau ada bantuan untuk nelayan sebaiknya berupa alat tangkap atau perahu bermotor, sehingga ketika nelayan tidak menangkap ikan dengan pengerih mereka bisa pergi menjaring ke daerah lain," ujarnya.
bolehAgusnimar

Penuh Kearifan

Dosen Budidaya Perairan Universitas Islam Riau DR Agusnimar mengungkapkan, upaya penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan di Desa Bunsur ini penuh dengan kearifan lokal masyarakat tempatan.

‘’Area penangkapan yang dilakukan nelayan itu berada di perairan terbatas, maka potensi pun terbatas. Karenanya penangkapan ikan di sana tidak boleh menggunakan alat tangkap yang aktif seperti pukat trawl. Kalau menggunakan trawl akan menguras potensi perikanan yang ada di sana. Alat tangkap pengerih ini alat tangkap yang pasif, dia tidak bergerak, hanya ditempatkan pada satu titik saja, jadi ikan masuk ke alat itu melalui arus bukan karena dia bergerak seperti trawl,’’ ujarnya.

Dengan cara seperti itu, ikan yang ditangkap akan terseleksi sendiri, sehingga tidak memengaruhi ikan yang ada di sana, kemudian kalau ditinjau, ada kecendrungan jumlah ikan di perairan selat itu sudah jauh berkurang. 

 ‘’Apalagi kalau dikaitkan dengan Selat Malaka. Selat Malaka itu sudah over fishing, sementara ikan yang masuk ke perairan kita ini berasal dari Selat Malaka,’’ ujarnya.

Jadi, tambahnya penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan itu memang penangkapan yang penuh kearifan. 

‘’Kearifan dalam artian masyarakat sudah memikirkan bahwa potensi yang ada itu bukan dimanfaatkan untuk saat ini tetapi untuk generasi yang akan datang,  makanya penangkapannya harus dengan alat-alat yang pasif, sehingga terjadi usaha perikanan yang berkesinambungan. Artinya, sustainibilty development terjamin, karena penangkapan menggunakan alat seperti itu,’’ ujarnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook