KISAH RANTAU KASIH YANG TERPINGGIRKAN DI KABUPATEN KAMPAR

Tak Punya Jembatan, tapi Langganan Roda Empat

Feature | Selasa, 12 Januari 2021 - 10:11 WIB

Tak Punya Jembatan, tapi Langganan Roda Empat
Ponton penyeberangan di Rantau Kasih, Kecamatan Kampar Kiri Hilir yang mampu mengangkut dua mobil dan beberapa sepeda motor dioperasikan manual dengan bantuan kantrol dan tenaga manusia.(HENDRAWAN KARIMAN/RIAUPOS.CO)

Ajaib. Desa ini tidak miliki jembatan, berada di seberang sungai, tak beraspal, tapi saban hari dilewati puluhan kendaraan roda empat. Nama desa itu Rantau Kasih, salah satu perkampungan terluar Kecamatan Kampar Kiri Hilir.

Laporan: HENDRAWAN KARIMAN, Kampar


DESA ini letaknya tidak begitu jauh kalau dibandingkan dengan Desa Muara Bio. Bahkan Pulau Tinggi di Kampar Kiri Hulu. Tidak juga sejauh Desa Balung di XIII Koto Kampar. Itu bila ditarik jaraknya dari ibukota provinsi, Pekanbaru. Namun desa ini terasa sangat jauh, seperti terpinggirkan. Setidaknya ini dirasakan wartawan saat datang berkunjung jelang tutup tahun lalu ke desa yang didominasi rumah-rumah terbuat kayu tersebut.

Menuju ke pusat desa ini terasa sulit. Untuk mencapai pusat pemerintahan desa memang perlu perjuangan. Begitu beberapa kilometer masuk dari jalan lintas tengah, dari persimpangan Jalan Raya Pekanbaru-Lipat Kain, kiri kanan jalan seakan tak ada lagi perkampungan. Apalagi kalau kondisi jalannya jadi tolak ukur. Namun kendaraan roda empat tetap hilir mudik. Sampai di ujung jalan, jalan ini bisa dikatakan buntu andai saja ponton penyeberangan tidak terlihat.

Hanya ada beberapa desa di Kampar yang sejauh ini aksesnya menggunakan rakit penyeberangan. Tapi kalau rakit menyeberangkan kedaraan roda empat, hanya ada di Desa Rantau Kasih. Maka masyarakat tempatan tidak menyebutnya sebagai rakit, melainkan ponton. Sulitnya jalan ke Pulau Tinggi di Kampar Kiri Hulu atau Balung di XIII Koto Kampar, menggunakan kendaraan roda empat tidak sampai harus menyeberang menggunakan ponton.

Untuk mencapai Desa Rantau Kasih, di sini setiap pengendara roda empat memang benar-benar harus menyeberang. Kendaraan dinaikkan di atas ponton. Kapasitasnya tidak banyak, maksimal hanya bisa dua kendaraan roda empat. Lalu diseberangkan dengan ponton yang bahkan tidak menggunakan mesin. Hanya mengandalkan katrol manual. Untuk mendorong ponton dari tepian sungai, masih mengandalkan tenaga manual manusia yang menjadi operator. Itu pula agaknya kenapa ponton selalu dioperasikan oleh tiga setiap hari.

Sesuai dengan namanya seperti nama-nama perkampungan dengan sebutan rantau, Rantau Kasih berada di seberang sungai. Bedanya dengan Rantau Berangin di Kuok, di sini kita harus benar-benar menyeberang, tanpa jembatan. Jalan menuju ke ponton kondisinya juga mengerikan. Tak terbayangkan kalau malam hari. Jalan rusak, kalau hujan berubah jadi bubur dan tanpa penerangan. Pada beberapa titik bahkan jalan bersanding dengan tebing sungai yang terus termakan abrasi.

Candaan seorang teman yang ikut rombongan wartawan ke Rantau Kasih pada akhir Desember 2020 lalu, desa ini sesuai namanya. Berada jauh di rantau, sulit ditempuh, tak ada jembatan, tak ada aspal. Maka kalau tidak ada kekasih di desa tersebut, seseorang yang tidak sedang mabuk cinta, tidak akan mau menempuh desa itu. Apalagi malam hari. Tentu saja ini hanya candaan.

Berbanding terbalik, kendati jalan menuju rantau kasih memprihatinkan, namun saban hari puluhan kendaraan roda empat terus menyeberangi ponton desa tersebut. Bahkan mereka rela merogoh kocek hingga Rp20 ribu sekali menyeberang. Ternyata, Desa Rantau Kasih ini jalan lintasnya merupakan jalan pintas. Dari Rantau Kasih, siapa saja bisa lebih cepat menuju Baserah atau Logas di Kuantan Singingi atau ke Langgam, bahkan Ukui di Pelalawan. Desa ini berbatasan langsung dengan dua kawasan di dua kabupaten tersebat. Posisinya "terjepit" oleh perbatasan Kampar yang berada di seberang sungai, lalu Pelalawan dan Kuansing yang berada di daratannya.

Hal itu membuat jalan lintas Rantau Kasih ini menjadi salah satu jalan pintas favorit bagi sebagian warga Langgam maupun Baserah yang perkampungan mereka memang dekat dengan perbatasan Kabupaten Kampar. Kebanyakan mereka yang lewat ingin menyunat waktu tempuh menuju Kota Pekanbaru atau ke Lipat Kain.

Diusulkan Tiap Tahun
Saat kampanye, mantan Bupati Kampar alarhum Azis Zaenal sempat membangkitkan harapan masyarakat Desa Rantau Kasih akan pembangunan jalan dan jembatan. Sejak saat itu, mereka semakin bersemangat mengusulkan perbaikan jalan dan pembangunan jembatan.

Meski berjarak tidak jauh dari Sungai Pagar, pusat Kecamatan Kampar Kiri Hilir, kondisi infrastruktur Desa Rantau Kasih masih sangat memprihatinkan. Keprihatinan kondisi infrastruktur jalan menuju desa itu dapat dirasakan langsung oleh siapapun saat berkunjung atau melewati jalan menuju desa tersebut. Baik sebelum ponton penyebrangan, maupun di pusat kawasan desa yang berada di seberang sungai itu.

Belasan kilometer jalan ke desa masih jalan tanah dengan lumpur dan kubangan di hampir sebagian besar badan jalan. Berdasarkan pengakuan warga kepada wartawan, ada sepanjang hampir 12 kilometer jalan dari dan ke desa mereka yang belum diaspal. Bahkan disebut warga, kondisi jalan itu belum seluruhnya berklasifikasi Base B, masih berklasifikasi Base C. Tak ayal, kondisinya sangat mengenaskan, terlebih di musim hujan seperti saat sekarang ini.

Warga mengaku, sempat berharap pada jargon kampanye politik almarhum Azis Zaenal pada Pilkada 2017 lalu. Warga berharap program 3I yang salah satunya pembangunan jalan dan jembatan, memberikan efek pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di desa mereka. Harapan warga sempat melambung ketika sebelum Azis Zaenal meninggal, pernah ada tim ahli untuk mengkaji rencana pembangunan jembatan sekaligus untuk menghitung berapa biaya yang diperlukan. Namun harapan tinggal harapan.

"Kami sangat berharap pada janji kampanye jalan dan jembatan itu akan membuat desa kami dibangun jalan aspal dan jembatan," kata salah seorang warga yang ditemui wartawan di Kantor Desa Rantau Kasih kala itu.

Kendati pesimis, sejumlah warga tetap berharap hingga periode pemerintahan Azis Zaenal yang kini dilanjutkan Bupati Catur Sugeng Susanto, pembangunan jalan dan jembatan ke desa mereka terealisasi. Pasalnya, menurut Kepala Desa Rantau Kasih Radison, tiap tahun mereka mengusulkan pembangunan tersebut.

Salah satu permasalahan utama lambatnya jalan ini dibangun adalah karena status jalan yang sebagiannya melintas pinggir Taman Nasional Tesso Nilo tersebut merupakan jalan provinsi. Namun tidak banyak wakil rakyat di DPRD Kampar maupun DPRD Provisi Riau yang bertandang untuk menyerap aspirasi masyarakat Rantau Kasih. Satu-satunya sejauh ini hanyalah Eva Yuliana.

Eva datang ke desa tersebut pada kegiatan resesnya pada Desember 2020 lalu. Melihat beratnya usulan yang diminta warga, Eva meminta warga tidak mengusulkan pembangunan banyak hal. Dirinya meminta agar warga hanya mengusulkan pembangunan jalan dan jembatan saja. Hal itu menurutnya sesuai dengan kondisi saat ini.

Eva yang pada kesempatan itu juga melakukan peninjauan jalan yang lebih banyak rusak ketimbang layak dilalui itu, pembangunan jembatan dalam waktu dekat belum dimungkinkan. Ini mengingat kondisi anggaran dan perekonomian daerah sedang tidak sehat. Namun untuk pengerasan dan pengaspalan jalan yang kurang dari 12 km itu cukup masuk akal.

"Saya melihat warga lebih membutuhkan pengerasan dan pengaspalan untuk saat ini. Karena kondisi ini sangat-sangat memperihatinkan. Saya berharap para pemangku kebijakan mendengarkan rintihan warga kita ini. Mereka layak mendapatkan jalan yang lebih baik menuju desa mereka. Karena sudah puluhan taun mereka menderita," kata Eva.

Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau Taufiq OH  saat dikonfirmasi melalui Kepala Bidang Bina Marga Arif Setiawan membantah bahwa jalan menuju Desa Rantau Kasih merupakan kewenangan provinsi.

"Bukan jalan kewenangan Provinsi Riau," ujarnya singkat.

Dulu Disayang
Konon, Desa Rantau Kasih, mendapat perhatian khusus dari Raja Gunung Sahilan. Kawasan pemukiman pinggir sungai itu selalu disinggahi Raja. Namun, setelah Raja-raja Gunung Sahilan tidak lagi bertakhta dan Indonesia merdeka, warga merasa kurang mendapat perhatian.

Menurut cerita Kepala Desa Rantau Kasih, pada masa pra kemerdekaan, pemukiman asli masyarakat Rantau Kasih berada di tepian Sungai Kampar. Masyarakat setempat bermukim di sepanjang aliran Sungai Kampar. Asal nama Rantau Kasih itu sendiri berasal dari lokasi permukiman masyarakatnya.

"Dahulu, untuk hilir sungai Kampar yang berada di wilayah Rantau Kasih ini nama sungainya Sungai Rantau. Orang-orang tua dulu sering menyebutnya dengan Rantau saja, atau dalam bahasa setempat," terangnya.

Tidak seperti saat ini, Rantau Kasih pada saat Kerajaan Gunung Sahilan masih berkuasa, cukup terkenal. Bahkan orang-orang tua disana mengklaim desa mereka disayangi atau bahasa dulu "dikasihi" oleh Raja Gunung Sahilan.

Seperti dijelaskan Radison, wilayah Rantau, yang kini bernama Rantau Kasih ini, merupakan wilayah Kerajaan Gunung Sahilan. Pada zaman kerajaan tersebut, Raja Gunung Sahilan saat menghilir di Sungai Kampar dengan kapalnya kerap kali berhenti dan singgah. Raja, diceritakan dari mulut-ke mulut, kerap melihat langsung kehidupan penduduk yang bermukim di pinggiran sungai tersebut.(sol/ted)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook