Macam-macam harta bersejarah yang ditemukan warga di sepanjang pantai timur Sumatera Selatan. Mulai cincin, serbuk emas, guci, hingga kemudi kapal. Yang paling ramai didatangi: kanal yang jadi sumber air untuk memadamkan karhutla.
KHAIRUNNISA, OKI, Jawa Pos
BERMOTOR 3 jam. Kemudian ditambah menaiki perahu ketek 40 menit. Diakhiri "berkubang" di kanal selama sekitar sepekan.
Itulah pengorbanan yang harus dijalani Wahyudi untuk berburu harta yang sudah berabad-abad terpendam. Yang diduga peninggalan zaman pra-Sriwijaya dan era Sriwijaya.
"Saya habis sekitar Rp300 ribu untuk pengeluaran selama sepekan," kata pria 40 tahun asal Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), tersebut.
Tapi, hasilnya tak sia-sia. "Saya dapat serbuk emas yang kemudian dijual Rp400 ribu per gram. Kalau barang berharga lain, belum pernah saya temukan hingga saat ini," jelasnya kepada Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group).
Wahyudi tak sendirian berburu harta karun dari abad sekitar 1–13 Masehi itu di sepanjang kanal PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Desa Serdang, Kecamatan Cengal, OKI. Persisnya setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Selama karhutla, kanal itu menjadi sumber air untuk memadamkan api. Kanal tersebut dibuka PT BMH sejak 2015. Macam-macam yang ditemukan warga di dalam kanal. Mulai cincin, serbuk emas, hingga guci.
Sebenarnya, ada banyak ladang perburuan lain di wilayah Kecamatan Cengal. Tapi, kanal di Desa Serdang itulah yang paling ramai didatangi.
Perburuan tersebut dilakukan sejak Agustus lalu. Jumlah pemburu harta karun itu puluhan. Kebanyakan punya hubungan keluarga, kerabat atau saling bertetangga. Mereka umumnya menginap di sekitar kanal.
"Ada yang dapat. Ada yang sudah sepekan di sana tidak dapat-dapat," ungkap Renggo, salah satu pendamping tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi.
Aktivitas itu bermula pada 2015. Saat karhutla meluas di OKI yang termasuk kawasan pesisir timur Sumsel.
"Mereka hanya gunakan serokan saja untuk mendapatkan harta karun dalam kanal itu," terangnya.
Tanah di kawasan tersebut merupakan lahan gambut. Karhutla diduga ikut membuat harta-harta itu tertarik ke permukaan.
Mengutip Wikipedia, Sriwijaya adalah kemaharajaan bahari di Pulau Sumatera. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan tersebut berasal dari abad ke-7. I Tsing, seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, menulis bahwa dirinya mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.
Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7. Yakni, Prasasti Kedukan Bukit di Palembang. Menurut Kepala Balai Arkeologi Sumsel Budi Wiyana, berbagai benda bersejarah yang ditemukan di OKI tersebut diduga berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Memang banyak temuan papan perahu kuno dan sebagainya di wilayah pesisir timur Sumsel.
Misalnya, di Karang Agung Tengah, Musi Banyuasin, dan Air Sugihan, Tulung Selapan, atau Cengal di OKI. Juga, di Desa Ulak Kedondong, Cengal, OKI.
"Ada warga yang menemukan kemudi dari kapal tua, juga emas atau barang berharga lain," kata Budi.
Khusus untuk kemudi itu, panjangnya sekitar 3 meter dan besarnya seukuran paha orang dewasa. Pada bagian ujung ada sedikit sisa daun kemudi. Dengan kemudi sepanjang itu, minimal panjang kapalnya 12 meter dan bobotnya bisa mencapai 36 ton.
Sangat mungkin kapal itu digunakan untuk melakukan perdagangan samudra. Akibat proses sedimentasi, kapal terpendam sedalam 2 meter.
"Dari kepingan kayu dari perahu yang ditemukan, bisa diteliti usia perahu tersebut. Kemungkinan dari abad 1–13 Masehi," ungkapnya.
Menurut Budi, diduga pantai timur Sumsel dulu merupakan area pelabuhan dan permukiman. Sejarawan dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Farida R Wargadalem juga menyebutkan, kawasan pantai timur Sumsel, mulai Musi Banyuasin, Banyuasin, hingga OKI, merupakan kawasan perdagangan nasional dan internasional pada masa pra-Sriwijaya hingga era Sriwijaya.
"Karena itu, di sepanjang kawasan tersebut banyak ditemukan benda bersejarah," ucapnya.
Dulu, kata Farida, pantai timur Sumsel menjadi lokasi perdagangan para pedagang dari Siam (sekarang Thailand), India, Vietnam, dan Tiongkok. Pada era Orde Baru, khususnya sejak 1980-an, kawasan tersebut menjadi jujukan transmigrasi.
Kadar emas yang ditemukan warga di sekitar kanal bisa mencapai 24 karat. Yang beruntung, kata Renggo, ada yang bisa mendapatkan cincin yang dijual dengan harga jutaan rupiah.
Untuk menjual hasil temuan itu, mereka biasanya ke Pasar Cengal. Dalam sekali jual, ada yang bisa membawa pulang uang jutaan rupiah. Kadang ada kolektor luar yang datang dan langsung berburu ke lokasi membeli hasil temuan harta karun mereka seperti cincin.
Menurut informasi, kolektor dari Jepang dan Amerika Serikat ikut mengincar harta karun dari kawasan pantai timur Sumel tersebut. Tapi, oleh sebagian pembeli, emas tersebut justru dilebur kembali ke Palembang.
"Serbuk emas dijual Rp400 ribu per gram, sedangkan guci biasanya hanya disimpan dalam rumah. Belum ada yang mau membelinya," ujar Renggo.
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar OKI Nila Maryati mengungkapkan, pihaknya sudah mengetahui aktivitas warga yang mencari harta karun di kawasan tersebut. Juga, sudah melaporkannya ke BPCB Jambi. Pihaknya pun tak bisa melarang warga karena mereka yang datang ke sana sangat ramai.
"Beberapa tahun sebelumnya tim BPCB sempat turun dan melakukan sosialisasi. Bahkan menganggarkan dana untuk membeli barang antik hasil temuan warga untuk diteliti. Tapi, warga justru menjual langsung ke kolektor dan pasar sehingga banyak emas yang dilebur," jelasnya.
Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Cengal Abdul Maja bahkan sempat turun ke lokasi bersama warga. "Pernah coba cari, tapi tidak berhasil dapat emas. Hanya beberapa barang antik," ungkapnya.
Saat ini memang banyak warga yang berburu harta karun ke beberapa lokasi, tak hanya di kanal BMH tersebut. Yang datang pun bukan hanya warga desa sekitar, tapi banyak pula warga desa lain yang ikut turun mencari harta karun.
"Memang ada warga yang menemukan berbagai barang antik dan lempengan emas hingga cincin," kata Maja.
Budi mengimbau agar warga yang menemukan benda arkeologi melapor ke aparat. "Bisa ke camat, lurah, polisi, dinas kebudayaan dan pariwisata, BPCB Jambi, atau Balai Arkeologi Sumsel," katanya.
Barang-barang temuan itu bisa dimiliki secara pribadi. Asal itu tadi, didaftarkan dulu ke instansi yang berwenang. Diperjualbelikan, kata Budi, juga boleh, tapi sebaiknya jangan dijual ke luar negeri. Jika itu dilakukan, jejak sejarah akan hilang, bahkan diklaim negara luar.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi