Keresahan pihak luar inilah yang kemudian memunculkan strategi pelemahan komoditi unggulan tersebut, dalam bentuk kampanye terus-menerus dengan berbagai isu, termasuk kebakaran, berbagai bentuk sertifikasi keberlanjutan, termasuk upaya pemerintah negara pengimpor membuat regulasi non-tarif, plus tekanan perdagangan melalui supply chain.
Diingatkannya, tekanan pihak luar membuat perusahaan besar menjadi sasaran utama sehingga langsung berdampak pada supply chain yang menengah-kecil, berpotensi menimbulkan dampak beban biaya sehingga kurang efisien, yang berisiko menjadikan pertumbuhan produksi sawit menurun, produksi Indonesia stagnan, hingga sampai pada kondisi di mana Indonesia menjadi importir sawit, seperti cerita komoditi unggulan masa lalu: rempah, tebu, tembakau dan kakao.
‘’Kita sendiri berprinsip, karena kita ada di Indonesia dan tunduk atas undang-undang yang berlaku, kita memakai regulasi yang ada di Indonesia, seperti ISPO, untuk terjaminnya perkebunan sesuai tata kelola lingkungan,’’ tegas Tofan.
Di Indonesia, kata Tofan, pelaku budidaya kelapa sawit ini, 58 persennya merupakan grup perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Sisanya, 42 persen, merupakan petani plasma (2 Ha/KK), petani swadaya-kecil, dan petani swadaya menengah-besar, di mana dua yang terakhir mendominasi, sekitar 60 persen.
Lalu, terkait titik api yang menyebabkan terjadinya bencana kabut asap beberapa waktu lalu, Tofan menjelaskan, kurang dari delapan persen berasal dari areal perusahaan konsesi sawit, 20 persen hutan tanaman industri (HTI) dan yang terbesar adalah lahan masyarakat dan area konservasi.
Diakuinya, ada anggota GAPKI yang terindikasi terlibat dan untuk membuktikan bersalah atau tidak, sedang menjalani proses hukum. ‘’Kita hormati proses hukumnya, jika terbukti akan dikeluarkan dari GAPKI, karena kita tak ingin dicemari oleh satu atau dua oknum itu,’’ kata Tofan Mahdi.
Sejumlah pertanyaan pun muncul untuk didiskusikan :Apakah kebakaran hutan/lahan bersifat spesifik Indonesia, spesifik ekosistem atau spesifik lokasi? Apakah kebakaran hutan secara sistematis terkait dengan perkebunan kelapa sawit? Apakah perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab atau korban kebakaran?
Ternyata, dari data yang disertakan Tofan, fenomena kebakaran hutan/lahan terjadi di berbagai tempat, bukan spesifik Indonesia; Kebakaran hutan/lahan Indonesia bukan spesifik karena gambut, karena jumlah hutan/lahan non-gambut yang terbakar hampir sama besarnya (berdasarkan data Global Forest Watch). Bahkan hutan di luar Indonesia yang berupa hutan sub-tropis juga mengalami kebakaran hebat. Dicontohkan bagaimana masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki disiplin dan kepedulian tinggi pada lingkungan. Namun faktanya, kebakaran hutan/lahan tetap terjadi setiap tahun.
‘’Padahal, Amerika dan Eropa memiliki sistem antisipasi kebakaran hutan terbaik di dunia, dengan peralatan dan teknologi canggih, sumber daya manusia yang tangguh dan dukungan anggaran yang besar. Namun, data menunjukkan kebakaran tetap terjadi,’’ jelas Tofan.