Bioetanol
Selain biodiesel, energi terbarukan lain yang dikenal adalah bioetanol. Jika biodiesel merupakan campuran untuk solar, maka bioetanol merupakan campuran untuk premium atau bensin. Pertamina memang belum melakukan produksi untuk bioetanol.
Tapi banyak penelitian yang dilakukan bahkan hingga siap produksi. Salah satunya di Balitbang Kabupaten Bengkalis. Penelitian bioetanol berbahan baku nipah itu bahkan sudah diuji coba juga untuk skala kecil, terutama pada kendaraan dinas di lingkungan Pemkab Bengkalis.
Mantan Kepala Balitbang Bengkalis Wan Sopyan Hadi menyebutkan, bioetanol nipah sangat prospektif. Apalagi, nipah tumbuh liar di sepanjang pesisir Riau dengan subur. Baik Dumai maupun Bengkalis, serta beberapa kabupaten lainnya di Riau berada di pesisir timur Sumatera. Nipah terhampar luas di sini, tanpa perlu budi daya. Gratis. Bahan baku ini sudah siap produksi. Bahkan sudah ada kilang-kilangnya walaupun hanya skala percobaan.
Menanggapi hal ini, Brasto menyebutkan bahwa berbagai penelitian terbuka untuk dikembangkan. Tapi Pertamina RU II Dumai baru setakat melakukan uji coba untuk biodiesel, belum bioetanol.
"Kita kan pelaksana saja ya. Kalau yang lainnya tentu perlu riset dulu, ada perangkat aturan dan ada kebijakan. Yang jelas RU II Dumai hanya memproduksi biodiesel. Belum yang lain," ujar Brasto.
Menyelamatkan Bumi, Melayani Rakyat
Apa yang dilakukan Pertamina dengan melakukan uji coba dan segera memproduksi biodiesel disambut baik pegiat lingkungan. Peneliti di Energy Research Centre UIN Suska Riau, Kunaifi menyebutkan, diperlukan usaha yang konkret dari pemerintah untuk merealisasikan penyelamatan Bumi melalui pengurangan emisi karbon. Energi dari biodiesel adalah salah satu upaya untuk itu.
"Langkah ini konkret, punya manfaat banyak sekaligus, yakni untuk menyelamatkan nyawa bahan bakar kita dan aspek lingkungan bahkan sosial," ujar Kunaifi.
Nyawa bahan bakar Indonesia jelas perlu diselamatkan. Produksi minyak Bumi dipastikan terus menurun. Riau yang merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di Indonesia telah mengalami penurunan produksi signifikan. Pada 2001, lifting minyak Bumi di Riau masih 222,113 barel. Kemudian mengalami penurunan pada 2002 221,930 barel, tahun 2003 sebanyak 200,328 barel. Tahun 2019 tinggal 76,019 barel. Energi fosil tak lagi bisa diandalkan.
"Yang diuntungkan negara dan rakyat kalau kita fokus pada energi terbarukan ini. Kalau masih mengandalkan energi fosil pasti kita tak bisa apa-apa. Jumlahnya terus menurun. Bioenergi bisa kita kendalikan. Tinggal bagaimana keputusan negara," ujar Kunaifi.
Bioenergi, baik biodiesel atau bioetanol merupakan sarana pelayanan bahan bakar masa depan. Pelayanan Pertamina dengan produksi biodiesel tentu saja langkah baik dan perlu diapresiasi. Selain itu, langkah ini termasuk strategis untuk menyelamatkan Bumi. Dari segi sosial, akan muncul juga industri baru, lapangan pekerjaan baru, jika produksi CPO dilanjutkan menjadi biodiesel secara lebih massal.
Hanya saja dia mengingatkan bahwa langkah konkret ini hendaknya tidak setengah hati. Memang beredar spekulasi bahwa langkah ini merupakan respon dari pemerintah terhadap boikot Uni Eropa (UE) pada industri sawit Indonesia. UE menganggap sawit Indonesia tidak sustainable (berkelanjutan). Produksi biodiesel dianggap jawaban bahwa sawit Indonesia itu juga sustainable.
"Jadi jangan sekadar untuk itu. Mari kita terus upayakan biodiesel ini benar-benar terwujud. Kita dukung langkah ini," ujar mahasiswa doktoral tahun terakhir di University of Twente Belanda ini.
Di sisi lain, sawit memang selama ini kerap dipermasalahkan dari segi lingkungan. Makanya, selain sawit dan CPO, sebaiknya juga ada bahan baku lainnya dari nabati yang dapat digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan. Semua tumbuhan yang mengandung lemak dapat dijadikan biodiesel. Semua jenis palm bisa. Termasuk yang pernah paling populer adalah jarak pagar. Sementara semua tanaman yang mengandung gula seperti tebu, jagung, nipah, bisa dijadikan bioetanol.
"Nah, kita semua menunggu langkah konkret ini," ujar dosen Energi Terbarukan di UIN Suska Riau.
Dia meyakinkan, energi terbarukan ini akan menguntungkan negara dan rakyat. Pelayanan energi untuk rakyat akan semakin terjamin. Bahan bakunya juga melimpah, bisa diperbarui, dan berkelanjutan. Yang dirugikan hanyalah produsen minyak mentah berbahan fosil. Soal energi terbarukan masih mahal, menurutnya relatif. Jika disubsidi tentu tidak.
"Jika produksinya massal, harganya tentu dapat juga ditekan," ujar Kunaifi.***