JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tekanan ke mata uang rupiah tak kunjung reda. Merujuk data Reuters, Kamis (30/8) kurs rupiah bergerak ke level Rp14.771 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, berdasar kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah berada di harga Rp14.655 per dolar AS. Rupiah melemah 8,22 persen sejak awal Januari 2018.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, tekanan terhadap rupiah dipicu revisi data produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal II yang membaik menjadi 4,2 persen. Selain itu, langkah Bank Sentral Cina (PboC) memperlemah mata uang yuan di tengah negosiasi sengketa dagang dengan AS. Hal itu menjadi sentimen pemberat bagi rupiah untuk bangkit.
Mata uang negara-negara yang tengah menghadapi masalah ekonomi seperti peso Argentina dan lira Turki juga kembali melemah. Hal itu menyeret mata uang emerging markets lainnya sehingga kembali terkoreksi.
’’Sejalan dengan pelemahan mata uang regional seperti ringgit Malaysia, rupee India, renminbi Cina, rupiah juga melemah. Dari domestik, pelemahan rupiah dipicu pembelian valas oleh korporasi untuk impor,’’ ujar Nanang.
Sentimen perang dagang serta devaluasi mata uang Cina memang bukan kali pertama ini memengaruhi pasar keuangan global. Cina telah melakukan devaluasi beberapa kali tahun ini untuk menghadapi perang dagang dengan AS. Di sisi lain, perang dagang tidak hanya dialami AS dengan Cina. AS yang kini berusaha menurunkan defisit neraca perdagangan telah menaikkan tarif bea masuk barang impor dari Cina dan Turki. Hal itu tak semata-mata disebabkan faktor ekonomi. Namun juga diwarnai faktor politik.
Melihat rupiah yang loyo, BI pun langsung mengintervensi pasar valuta asing (valas) dan ikut membeli surat berharga negara (SBN). Selain untuk menjaga market confidence, hal itu dilakukan untuk memastikan pelemahan rupiah tidak cepat dan tajam. Secara year to date (YTD), pembelian SBN oleh BI mencapai Rp79,23 triliun. Angka tersebut terdiri atas pembelian SBN di pasar primer Rp57,23 triliun plus pembelian di pasar sekunder Rp 22,18 triliun.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyatakan, ekonomi AS bergerak melampaui forecast konsensus-konsensus analis. ’’Kalau dilihat, janji-janji Presiden AS Donald Trump telah ditepati semua tahun ini. Tidak ada yang menyangka ekonomi AS membaik secepat ini,’’ ujarnya. Ke depan, masalah perang dagang masih menjadi pengaruh besar bagi pasar keuangan global, terutama di emerging markets.
Belum lagi, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed menguat setelah data ekonomi AS membaik. Anton memprediksi ruang kenaikan suku bunga BI 7-day reverse repo rate (BI-7DRRR) masih terbuka sampai tahun depan. Tahun ini saja, BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin ke level 5,50 persen. ’’Tahun depan bisa jadi naik lagi 100 basis poin,’’ tandasnya.
Namun, dengan segala upaya BI untuk menenangkan pasar, Anton optimistis rupiah tak selemah ini. Setidaknya, sampai akhir tahun rupiah akan berada di level Rp 14.635 per dolar AS. Menurut dia, penguatan dolar AS terlalu cepat. Hal itu membuat rupiah bakal menemukan titik ekuilibrium baru.(rin/c19/oki/lim)