JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun ini di angka 5,04 atau 5,05 persen dari yang sebelumnya 5,2 persen. Prediksi tersebut menunjukkan pemerintah lebih realistis dengan kondisi ekonomi global yang pertumbuhannya diprediksi terus mengalami perlambatan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan, sekalipun ekonomi global masih lesu, pertumbuhan ekonomi tahun depan masih sesuai target 2020. Seperti diketahui, ekonomi RI pada tahun depan seperti target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dipatok mencapai 5,06 persen. ”Kita tetap di 5,06 persen,’’ ujar dia singkat kemarin (29/11).
Sebelumnya, Ani –sapaan Sri Mulyani– menyebut sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berasal dari utang, tetapi investasi asing di sektor swasta. Dengan mengandalkan investasi, Menkeu optimistis ekonomi bisa tumbuh hingga 7 persen. Karena itu, pemerintah akan tetap menggenjot investasi dengan memprioritaskan perbaikan iklim investasi. Hal tersebut termasuk memangkas hambatan-hambatan investasi dari segi kebijakan atau perizinan.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu berharap perbaikan iklim investasi akan menciptakan banyak ruang bagi investor untuk datang ke Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negara berkembang yang ekonominya tetap tumbuh tinggi dan sehat. ”Pertumbuhan ekonomi bisa saja mencapai 7 persen asal pertumbuhan investasi bisa didorong. Dulu bisa (tumbuh) double-digit, 11–12 persen. Namun, sejak krisis keuangan, pertumbuhan investasi kita tumbuh di bawah dua digit, hanya sekitar 5 persen,’’ ucapnya. Pemerintah juga telah mempersiapkan berbagai instrumen fiskal. Salah satunya adalah deregulasi yang terkait investasi dengan menerbitkan omnibus law.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, kondisi ekonomi Indonesia masih dipandang positif oleh dunia. Sebab, pertumbuhan ekonomi RI mampu bertengger di level 5 persen di saat negara lain turun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan membawa Indonesia di peringkat ketiga di antara negara-negara G20. Tercatat, Indonesia berada di bawah India dan Tiongkok.
”Ini positive story yang harus disambut baik,” tuturnya.
Diakui, tekanan akibat ketidakpastian global sangat besar. Hal itu dipicu perang dagang dan kondisi geopolitik. Akibatnya, banyak lembaga internasional yang terus memangkas pertumbuhan ekonomi dunia sampai di bawah 3 persen. Airlangga menambahkan, positive story juga dialami secara umum oleh negara-negara ASEAN. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, satu-satunya wilayah yang melihat pertumbuhan ekonomi masih tinggi adalah ASEAN. ”Dalam ASEAN Summit, negara-negara ASEAN relatif optimistis di tahun depan,’’ katanya.
Sementara itu, pasar saham pekan ini menunjukkan indikator positif pada rata-rata transaksi. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, data rata-rata nilai transaksi meningkat 28,44 persen menjadi Rp 8,021 triliun dari Rp 6,245 triliun pada penutupan pekan lalu. ”Dilanjutkan dengan peningkatan data rata-rata volume transaksi sebesar 18,45 persen menjadi 10,632 miliar unit saham dari 8,976 miliar unit saham selama pekan lalu,” terang Sekretaris Perusahaan BEI Yulianto Aji Sadono kemarin.
Peningkatan selanjutnya tecermin pada data rata-rata frekuensi transaksi yang naik 9,79 persen menjadi 528.357 kali transaksi dari 481.228 kali transaksi pada penutupan pekan sebelumnya
Selain itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) pada pekan ini tercatat mengalami perubahan 1,45 persen menjadi 6.011,830 dari 6.100,242 pada penutupan pekan lalu. Mengikuti IHSG, nilai kapitalisasi pasar juga mengalami perubahan sebesar 1,40 persen menjadi Rp 6.919,502 triliun dari Rp 7.017,816 triliun pada penutupan pekan sebelumnya. ”Sepanjang tahun 2019, investor asing masih mencatatkan beli bersih sebesar Rp 41.209,7 triliun dan investor asing pada hari ini (29/11) mencatatkan jual bersih sebesar Rp 219,03 miliar,’’ tuturnya.
Editor : Deslina
Sumber: jawapos.com