JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku lebih suka meningkatkan penerimaan negara ketimbang mengandalkan utang. Namun, selama ini jumlah penerimaan masih lebih rendah daripada keperluan belanja negara. Maka, mau tak mau, utang menjadi salah satu instrumen pembiayaan yang dipilih untuk menambal kekurangan tersebut.
’’Ibu kalau cuma punya uang Rp1.894 triliun (dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak) kok belanjanya 2.220 (triliun)? Jadi gimana? Utang. Lho itu yang sering disebutkan di masyarakat. Emang Ibu itu senang utang ya? Enggak, enggak seneng. Kalau saya senangnya yang Rp1.894 triliun itu menjadi Rp3.000 triliun tapi belanjanya Rp2.200 triliun sehingga saya bisa menabung,’’ ujarnya dalam buka puasa di Ponorogo, akhir pekan lalu.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan, dirinya juga sempat ditanya apakah tidak bisa mencetak uang rupiah lebih banyak agar tidak perlu berutang. Dia menekankan bahwa defisit APBN tidak bisa ditutup dengan cara mencetak uang sebanyak-banyaknya. Uang yang dicetak berlebihan akan mengakibatkan inflasi. ’’Kira-kira kalau ekonomi diurus dengan cetak duit banyak jadi apa ya? Inflasi,” tegasnya.
Untuk itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya untuk menurunkan rasio utang. Salah satunya dengan meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Karena itu, pemerintah saat ini terus menggiatkan upaya reformasi perpajakan. ’’Yang kaya banget ya harusnya bayarnya banyak banget. Yang agak kaya, ya bayarnya agak banyak. Yang sedang-sedang, bayarnya ya sedang-sedang. Yang miskin, ya jangan bayar, malah dikasih duit. Adil kan?’’ katanya.
Sri Mulyani mencontohkan, untuk mengejar wajib pajak (WP) besar, salah satu strategi pemerintah adalah merekrut ahli forensic accounting. Tujuannya membantu pemerintah melacak uang WP besar yang disembunyikan. Selain itu, Indonesia melakukan perjanjian internasional dengan sekitar 100 negara melalui automatic exchange of information (AEOI) untuk mengejar uang orang Indonesia yang disembunyikan di luar negeri.
’’Katanya 5 persen orang Indonesia itu kayanya minta ampun. Ya itu yang kita sedang kejar. Tapi, duitnya enggak cuma di sini,” imbuhnya.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai, hingga kini manajemen utang memperlihatkan kondisi yang semakin baik. Hal itu ditandai dengan beban bunga yang menurun, sementara risiko portofolio utang membaik dan terkendali.
Ukurannya rasio pembayaran bunga utang terhadap jumlah utang rata-rata yang semakin menurun, dari 5,1 persen pada 2014 menjadi 4,7 persen pada akhir 2016. Kondisi tersebut lebih baik dibandingkan negara-negara peers dengan peringkat kredit yang setara seperti Brasil, Meksiko, Turki, dan Mesir.
’’Meskipun terdapat peningkatan jumlah utang, hal ini diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara peers sehingga pemerintah mampu menjaga level rasio utang terhadap PDB di bawah 30 persen,” jelasnya kemarin.(ken/c17/sof/das)