PENGAMAT INGATKAN PEMERINTAH

Indonesia Akan Hadapi Jurang Fiskal dan Ekonomi yang Berat di 2023

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 24 Februari 2022 - 13:00 WIB

Indonesia Akan Hadapi Jurang Fiskal dan Ekonomi yang Berat di 2023
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu. (JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS,CO) - Pemerintah diingatkan akan menghadapi ancaman jurang fiskal dan ekonomi pada 2023 mendatang, karena pemerintah saat ini tidak memiliki uang, sementara jumlah utang, serta beban bunga utang terus meningkat.

"Jadi sebenarnya, ada benarnya juga apa kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa titik kritis dan paling berat adalah  pada 2023. Tahun 2023 itu, jurang sangat berbahaya bagi fiskal kita," kata Said Didu mantan Sekretaris BUMN 2015-2010 dalam acara Gelora Talk kemarin.


Said Didu menegaskan, ancaman fiskal dan ekonomi pada 2023 bagi Indonesia sangat nyata. Ia menjelaskan, dalam Perppu No.1 Tahun 2020, pemerintah hanya diizinkan menaikkan fiskal 3 persen, tapi faktanya sampai 6 persen.

"Jika publik ingin paham, kalau defisit fiskal sesuai UU 3 persen,  maka pemerintah boleh menambah utang Rp500 triliun dari PDB, dimana PDB diperkirkan sekitar Rp1.700-1.800. Tapi utang sekarang mencapai Rp1.000 triliun," ujarnya.

Sementara pendapatan negara pada 2022 ini diperkirakan Rp1.800-1.900 triliun. Artinya, uang masuk sekitar Rp2.300- 2.400 triliun, maksimun Rp2.500 triliun pada 2023. Sedangkan belanja sekarang sudah mencapai Rp2.800-2900 triliun, jika ditambah anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), maka pengeluaran menjadi Rp3.000 triliun.

"Artinya, pemerintah terpaksa belanja hanya Rp 2.500 triliun  yang dibolehkan di 2023. Sementara pengeluaran untuk bunga dan utang saja, perkiraan saya Rp900-1.000 triliun pada 2023. Berarti yang tersisa Rp1.100-1.200 triliun. Untuk bayar gaji dan lain-lain Rp800 triliun, untuk transfer ke daerah Rp200 triliun total jadi Rp1.000 trliun. Jadi uang yang tersisa hanya Rp200 triliun, sementara pemeliharaan jalan dan subsidi pupuk Rp400 triliun," ungkapnya.

Said Didu menduga soal kebijakan pengambilan dana Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 ada kaitannya dengan kondisi keuangan pemerintah tersebut, karena dana JHT ditempatkan di Surat Utang Negara (JHT). 

"Kenapa 56 tahun, sepertinya BP Jamsostek membeli SUN yang periodenya panjang, karena kalau ditarik di depan pemerintah akan kewalahan," pungkasnya.

Laporan: Yusnir (Jakarta)

Editor: Erwan Sani









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook