JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sunarso menyatakan, pihaknya telah merestrukturisasi kredit UMKM lebih dari 1.410.895 nasabah dengan nilai pinjaman mencapai Rp101,232 triliun. Dari jumlah tersebut 1.385.952 nasabah di antaranya merupakan pelaku UMKM. Nilai pinjaman untuk klaster tersebut sebesar Rp95,373 triliun.
Sunarso menegaskan, upaya restrukturisasi kredit bukan berarti mengurangi atau membebaskan kewajiban debitor untuk membayar. "Tapi menunda bayar dengan pemerintah memberikan subsidi bunga kepada rakyat selama enam bulan," jelas pria yang juga menjabat Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) itu.
Bagi debitor dengan pinjaman kurang dari Rp500 juta, tiga bulan pertama mendapat keringanan bunga 6 persen. Kemudian, tiga bulan kedua turun menjadi tiga persen. Sedangkan, bagi debitor dengan pinjaman lebih dari Rp500 juta sampai Rp10 miliar, mendapat keringanan bunga tiga persen di tiga bulan pertama dan dua persen pada tiga bulan kedua.
Selama menjalankan program restrukturisasi, perbankan tentu mengalami tekanan likuiditas. Oleh karena itu negara turun untuk membantu likuiditas perbankan. "Kenapa demikian? karena nasabah boleh menunda pembayaran pokok, tapi bank tidak boleh menunda pembayaran deposito yang jatuh tempo kepada deposan," beber Sunarso.
Akibat penundaan pokok selama enam bulan itu, lanjut dia BRI membutuhkan likuiditas Rp91 triliun. "Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan jaga-jaga likuiditas, kita range club deal 13 bank komitmen untuk meminjamkan BRI 1 miliar dolar AS dengan average rate murah. Di bawah dua persen," ujarnya.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui tidak sedikit tantangan dalam menerapkan restrukturisasi kredit. Mulai kebutuhan debitur, moral hazard, hingga kapasitas likuiditas perbankan. Meski demikian, program harus tetap berjalan untuk membantu masyarakat yang berpotensi kesulitan memenuhi kewajibannya di tengah pandemi Covid-19.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menuturkan, kualitas tata kelola perbankan dan debitur sangat menentukan kelancaran restrukturisasi. Agar tidak terjadi moral hazard maupun free rider dalam penerapan relaksasi.
Dia menyadari banyak yang membutuhkan stimulus keringanan kredit. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang kurang paham dengan kebijakan tersebut. Menurut Heru, debitur dengan kondisi sehat yang layak mendapatkan restrukturisasi. Dengan adanya restrukturisasi, debitur yang lancar dalam situasi normal tersebut tidak mengalami macet kredit saat wabah Covid-19.
Di sisi lain, perbankan juga dihadapkan pada kondisi likuiditas yang terbatas. Jika tidak selektif memberikan restrukturisasi kredit, ujung-ujungnya malah bank tidak sehat. "Ya, menyeimbangkan kebutuhan debitur dengan kapasitas likuiditas bank menjadi tantangan program restrukturisasi," kata Heru dalam diskusi virtual, kemarin.
Heru mengatakan, merealisasikan restrukturisasi kredit tidak mudah. Kesulitan untuk tatap muka dan verifikasi data dalam kondisi pembatasan wilayah di beberapa daerah. Beberapa fungsi operasional juga tidak dapat dilakukan melalui work from home. Selain itu, tantangan industri perbankan yang masih berpedoman pada standar operational procedure (SOP) lama cenderung memakan waktu dan birokrasi.
"Setidaknya empat langkah yang harus dilakukan perbankan. Identifikasi scenario analysis, mitigasi risiko kredit dan kecukupan likuiditas, mengukur stress test kecukupan modal dan likuiditas serta tindak lanjut optimalisasi pengelolaan portofolio," papar alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut.(han)