Industri Dongkrak Pertumbuhan di Masa Datang

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 08 Agustus 2019 - 11:42 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Dorongan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan semakin berat. Pasalnya, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,2 persen pada tahun ini, industri manufaktur harus tumbuh setidaknya di atas 4 persen. Sementara pada kuartal II 2019, industri manufaktur hanya tumbuh 3,54 persen secara year on year (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan manufaktur pada kuartal II 2018 yang sebesar 3,88 persen.

 


"Kita kan semester I lalu pertumbuhannya baru 5,06 persen. Jadi kalau mau mencapai 5,2 persen, kalau berharap dari manufaktur, memang target di semester II jadinya agak tinggi," kata Ekonom BCA David Sumual kemarin (7/8).

Menurutnya, deindustrialisasi sedang terjadi di berbagai negara, terutama sejak Cina bangkit menjadi pusat produksi massal dunia beberapa tahun lalu. Dengan upah tenaga kerja yang sangat rendah, kemudahan berusaha serta biaya produksi yang murah membuat barang produksi Cina sangat diminati negara-negara lain di dunia. Hal itu membuat Cina  menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-2 di dunia saat ini setelah Amerika Serikat (AS).

Sekarang, dengan adanya perang dagang yang mengakibatkan devaluasi mata uang yuan, tantangan ekspor impor kian berat. Sebab masing-masing negara berusaha menjaga pertumbuhan ekspornya. Hal itu dilakukan dengan membatasi volume output produksi agar harga tidak jatuh, bahkan Cina sampai melemahkan nilai kursnya untuk menarik pembelian barang, agar bersaing dengan barang produksi dari negara-negara lain.

Menurut David, dalam jangka panjang Indonesia, harus meningkatkan skill SDM-nya agar mumpuni di bidang soft industry. "Soft industry misalnya itu industri pariwisata, teknologi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang bukan hanya manufaktur. Karena saya prediksi ke depan ini investasi yang masuk ke industri manufaktur akan tetap besar, tapi mereka lebih banyak yang pakai tenaga mesin dan robot," kata David.

Akibatnya penggunaan robot tersebut, serapan tenaga kerja jadi kurang maksimal. Pada kuartal II 2019 misalnya, serapan tenaga kerja baru hanya sekitar 255 ribu orang. Angka itu tak sebanyak capaian pada kuartal II tahun 2018 yang sebanyak 289 ribu orang. Makanya, David bilang, Indonesia tetap harus memperkuat industri manufaktur, namun tetap memberi ruang pertumbuhan pada industri-industri lain yang dinilai potensial.

Menurutnya, pemerintah ke depan harus melanjutkan reformasi kebijakan di bidang ekonomi, terutama dari sisi kemudahan berinvestasi dan pemberian insentif. "Jadi supaya pengusaha itu tidak hanya berdagang saja, menjadi distributor, tapi tidak menciptakan produk atau lapangan kerja baru," sambungnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Perekonomian Ahmad Erani Yustika mengatakan, tantangan perekonomian ke depan memang berat. Pertumbuhan ekspor dan investasi diakuinya menjadi PR pemerintah ke depan. Namun pemerintah masih akan terus mencoba mencari peluang investasi yang bisa didapat dari adanya perang dagang.
Sebab, pasar barang yang semula dipenuhi oleh Cina  masih bisa berkurang. "Nah kita bisa mengisi ruang kosong itu," katanya.(rin/das)

Laporan: JPG
Editor: Arif Oktafian









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook