Mereka bekerja sambil liburan. Memanfaatkan ruang-ruang kerja bersama. Di mana saja. Sebab, mereka adalah pengembara digital.
(RIAUPOS.CO) - WARGA lokal menyebut Canggu di Kuta Utara, Badung, Bali, sebagai Kampung Bule. Turis asing begitu mudah ditemui di sana. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Di jalanan Canggu, terutama yang menuju arah pantai, banyak bule berpakaian terbuka yang berseliweran mengendarai motor. Begitu pula resto, kafe, dan mini klub yang dipenuhi imigran Barat.
Canggu adalah salah satu spot wisata favorit para pelancong mancanegara. Selain terdapat pantai eksotis, fasilitas-fasilitas penunjang wisata juga menjamur di perkampungan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai tersebut. Mulai hotel, vila, resto, kafe, bar, kelab, spa, pusat perbelanjaan, studio yoga, sports center, hingga studio tato.
Canggu dikenal sebagai jujukan backpacker atau wisatawan dengan bujet minim. Bila dibandingkan dengan spot wisata lain di Bali, harga kebutuhan sehari-hari di Canggu terbilang paling terjangkau. Khususnya makanan, minuman, serta ongkos sewa penginapan. Penginapan low-budget itu bisa dilihat di beberapa aplikasi traveling.
Canggu juga dikenal sebagai surganya turis digital nomaden (biasa juga disingkat digital nomad) atau pengembara digital. Mereka mudah didapati di co-working space di perkampungan yang masih memegang kuat adat dan tradisi Bali tersebut. Umumnya, di setiap ruang kerja bersama itu tersedia akses internet berbayar. Co-working space biasanya menjadi satu dengan resto atau kafe.
Jawa Pos (JPG) mengunjungi salah satu co-working space di Canggu pekan lalu (27/1). Di salah resto bergaya tropical modern, co-working space terletak di bagian dalam. Belasan orang serius menghadap laptop masing-masing ketika Jawa Pos tiba.
Mereka duduk berjarak satu sama lain sambil menikmati suguhan. ”Sehari bisa ada 50 orang (pengunjung resto, red), kadang bisa lebih,” kata Ichi Yamada, pengelola resto dan co-working space tersebut.
Resto plus co-working space itu berdiri sekitar 2,5 tahun lalu. Mayoritas pengunjungnya adalah turis dari berbagai negara yang menetap sementara di Bali, khususnya di Canggu. Resto dengan fasilitas co-working space di Canggu memang diminati para turis.
Berdasar pantauan Jawa Pos, biasanya resto-resto itu ramai sejak pagi hingga sore. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat pandemi Covid-19 memaksa pengelola harus menutup resto lebih awal daripada biasanya. ”Jam 8 (malam) harus tutup,” ujar pria berkewarganegaraan Jepang tersebut.
Ichi menyatakan, fenomena co-working space di Bali, khususnya Canggu, belakangan cukup marak. Pria kelahiran Tokyo itu menyebutkan bahwa mayoritas turis yang datang ke co-working space miliknya merupakan pengembara digital dari Eropa dan Amerika. ”Mereka mengontrol (pekerjaan) di sini (co-working space),” ungkap pria yang sudah 12 tahun tinggal di Indonesia tersebut.
Istilah digital nomaden ada sejak beberapa tahun terakhir. Sebutan itu merujuk pada seseorang yang bekerja secara online dan berpindah-pindah tempat. Para pengembara digital umumnya bekerja sambil liburan alias workcation. Di kalangan milenial, workcation tengah menjadi tren. Apalagi saat pandemi sekarang ini.
Ichi mengungkapkan,mayoritas pengembara digital yang nongkrong di restonya menggeluti bidang kerja pemrograman digital (programming) dan pasar online (e-commerce). Khusus e-commerce, tidak sedikit digital nomaden yang menjadi dropshipper beberapa aplikasi perdagangan online luar negeri. Sebut saja Shopify dan Amazon.
Dropshipper adalah seseorang yang membuat toko online sebagai perantara penjualan berbagai barang dari penyuplai. Kebanyakan penyuplai berada di Cina. Dropshipper juga bisa diartikan jembatan antara pembeli dan supplier. Lewat sistem itu, dropshipper tidak perlu repot-repot menyewa gudang karena barang yang dipesan akan dikirim penyuplai ke alamat pembeli.
Sebagai warga negara asing (WNA) yang telah menetap lama di Bali, Ichi mengakui bahwa pengembara digital cukup membantu ekonomi daerah di tengah geliat wisata yang lesu akibat pandemi Covid-19.
Sebab, kata dia, digital nomaden menyumbang pemasukan yang tidak sedikit bagi usaha mikro di Pulau Dewata. ‘’Mereka (digital nomaden) belanja makanan, minuman, dan penginapan. Selain pariwisata, ini harus dilihat sebagai cadangan (pemasukan warga lokal),” paparnya.
Selain itu, Ichi menyebut skill para digital nomaden bisa dimanfaatkan untuk membantu warga lokal memasarkan produk dalam negeri ke pasar internasional. Menurut Ichi, jiwa wirausaha digital nomaden umumnya lebih tinggi ketimbang turis-turis biasa. Begitu juga jiwa sosial mereka. ”Karena kebanyakan sudah lama menetap di Bali,” ujarnya.
Dalam situasi pandemi, kata Ichi, mereka bisa bergerak lebih cepat dalam mengumpulkan pundi-pundi uang secara online. ”Contohnya, daun kelor itu saja bisa dipromosikan ke luar negeri oleh digital nomaden,” ungkap pria 44 tahun tersebut.(tyo/c14/fal/das)
Laporan JPG, Badung