JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, pemerintah telah memutuskan kebijakan pelarangan ekspor hasil sawit mentah, bahan baku minyak goreng dan minyak goreng untuk memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Kebijakan tersebut mulai berlaku sejak Kamis 28 April 2022.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit secara transparan dan terbuka terkait pengelolaan dana pungutan sawit yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Politikus Partai Demokrat itu menyebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, BPDPKS mengelola dana yang berasal dari pungutan ekspor.
“Bila tidak ada ekspor sawit dan turunannya, maka berarti tidak ada obyek yang dipungut. Artinya tidak ada lagi dana pungutan sawit yang akan dikelola. Dengan begitu, keberadaan BPDPKS tak lagi dibutuhkan,” kata Suhardi kepada wartawan, baru-baru ini.
Ia mengapresiasi, dalam proses audit yang dilakukan oleh BPK kepada BPDPKS nanti agar diawasi oleh penegak hukum. Hal ini untuk mencegah adanya praktik kongkalikong antara pegawai BPK dan BPDPKS. “Kasus Bupati Bogor Ade Yasin yang terkena OTT KPK saja itu terjadi karena ada peran oknum BPK yang tidak bekerja secara independen, sehingga mereka berani melanggar hukum,” ucap Suhardi.
Selain itu, BPK juga harus mengaudit apakah pengelolaan dana itu sudah efisien dan sudah tepat sasaran. Bahkan, kata Suhardi, BPK harus secara transparan mengungkapkan pada publik apakah memang dalam pengelolaan dana sawit di BPDPKS tidak menyimpang dan merugikan keuangan negara.
Dengan penjelasan pada publik audit dilakukan secara independen benar-benar bisa menjawab pertanyaan publik. Terlebih sampai saat ini belum ada jawaban konkret BPDPKS terkait dengan peruntukan dan sasaran penerima dana pengelolaan dana pungutan sawit yang angkanya sangat fantastis.
Sebab, sejumlah petani yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai BPDPKS masih memprioritaskan konglomerat sawit, mengabaikan petani sawit, dan tidak berkontribusi pada percepatan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Hal itu terungkap dalam catatan akhir tahun 2021 yang disampaikan BPDPKS pada Selasa, 28 Desember 2021, di mana lembaga tersebut menggelontorkan dana subsidi biodiesel Rp110,05 triliun selama periode 2015-2021.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sejak awal berdiri tahun 2015 hingga 2021 BPDPKS sudah menghimpun dana sebesar Rp137,283 triliun. Dana tersebut kemudian disalurkan melalui beberapa program, di antaranya sebesar Rp110,05 triliun (80,16 persen) untuk subsidi biodiesel periode 2015-2021, sebesar Rp6,59 triliun (4,8 persen) untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2015-2021, sebesar Rp389,3 miliar untuk program penelitian dan pengembangan selama 2015-2021.
Selain itu, sebanyak Rp199,01 miliar untuk program pengembangan SDM sepanjang 2015-2021, sebanyak Rp21,1 miliar untuk program Sarana dan Prasarana pada 2021 dan sebesar Rp318,5 miliar untuk program promosi, advokasi, dan kemitraan sawit pada 2015-2021.
“Seharusnya BPDPKS sebagai lembaga negara lebih mengutamakan kebutuhan para petani sawit. Masyarakat harus menjadi pemenang di negerinya sendiri, bukan malah kepentingan korporasi sawit yang malah membuat Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng,” ujarnya.(jpg)