JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah getol mendorong penggunaan kendaraan listrik. Pengembangan ekosistem elektrifikasi kendaraan bermotor dinilai menjadi salah satu inisiatif kunci mencapai kemandirian energi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas mengeluarkan berbagai insentif untuk mendukung program tersebut.
Salah satunya, mengizinkan down payment (DP) alias uang muka nol persen untuk pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dari harga jual. “Tentu dengan tetap memenuhi ketentuan dalam POJK 35/2018 dan POJK 10/2019,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara pada rapat dewan komisiner (RDK) awal tahun, Senin (2/1).
Tak hanya itu, OJK juga memberikan insentif untuk pengembangan industri hulu KBLBB. Meliputi industri baterai, industri charging station, dan industri komponen. Dia berharap sejumlah insentif yang diberikan bakal mengakselerasi pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Dengan demikian, akan berimbas terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Lebih detail, Rabu (4/1), Direktur Humas OJK Darmansyah menjelaskan, insentif diberikan dan berlaku di sektor perbankan, pasar modal, serta industri keuangan nonbank (IKNB). Dengan tujuan, untuk meningkatkan peranan industri jasa keuangan dalam mendukung program KBLBB maupun pengembangan industri hulunya.
Insentif di perbankan berupa relaksasi perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Menurunkan bobot risiko kreditnya dari 75 persen menjadi 50 persen bagi produksi dan konsumsi KBLBB hingga 31 Desember 2023. Selain itu, relaksasi penilaian kualitas kredit dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar hanya didasarkan atas ketepatan membayar pokok atau bunga.
“Penegasan bahwa penyediaan dana kepada debitur untuk membeli KBLBB maupun industri hulu bisa dikategorikan bahwa lembaga jasa keuangan sudah memenuhi dan menerapkan keuangan berkelanjutan sebagaimana yang diatur dalam POJK No.51/POJK.03/2017,” jelasnya.
OJK juga memberikan pengecualian batas maksimum pemberian kredit (BMPK) untuk penyediaan dana dalam rangka produksi KBLBB beserta infrastrukturnya. Dalam hal ini dijamin oleh lembaga keuangan penjaminan atau asuransi BUMN dan BUMD.
Di pasar modal, regulator memberikan diskon pungutan atas biaya pernyataan pendaftaran green bond. Termasuk untuk pendanaan KBLBB menjadi sebesar 25 persen dari pungutan semula. Insentif itu direspons pula oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan memberikan diskon tarif biaya pencatatan tahunan green bond sebesar 50 persen dari tarif biaya pencatatan.
OJK juga menawarkan berbagai alternatif mekanisme pendanaan di pasar modal untuk mendorong pertumbuhan industri KBLBB. “Misalnya, untuk pendanaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) atau stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU). Antara lain melalui layanan urun dana atau security crowdfunding yang diatur dalam POJK No. 57/POJK.04/2020,” terang Darmansyah.
Untuk Perusahaan Pembiayaan, insentif KBLBB yang diberikan berupa relaksasi bobot risiko aset yang disesuaikan menjadi 50 persen. Berlaku untuk pembiayaan yang dibukukan terhitung sejak 18 November 2022 sampai dengan 31 Desember 2023. Penilaian kualitas pembiayaan untuk pembelian KBLBB dan pengembangan industri hulu dengan plafon sampai Rp5 miliar juga hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok, margin, bagi hasil, atau ujrah.
Sedangkan untuk industri asuransi, penetapan tarif premi, kontribusi, serta pengenaan risiko sendiri (deductible) dapat diterapkan pada tingkat yang lebih rendah dari batas minimum. Sebagaimana diatur dalam Surat Edaran OJK Nomor 6/SEOJK.05/2017.
“Yang perlu ditekankan dalam menerapkan relaksasi, OJK meminta agar lembaga jasa keuangan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik,” tegasnya.
Sementara itu, pelaku industri otomotif meyakini bahwa pemberian insentif kendaraan listrik bakal mendongkrak angka penjualan. Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengatakan bahwa tanpa insentif saja, tren penjualan kendaraan listrik di sektor industri otomotif pada kurun waktu 2021-2022 perkembangannya luar biasa.
”Kalau saya lihat datanya, di 2021 mobil EV terjual 687 unit. Tapi di tahun 2022 sampai dengan November, EV sudah terjual 7.923 unit. Naik hampir 13 kali lipat,” ujar Nangoi.
Menurut Nangoi, jika pemberian insentif terwujud, diproyeksikan angka penjualan kendaraan berbasis listrik akan jauh lebih besar lagi. ”Apalagi kalau insentifnya Rp80 juta. Harusnya bisa lebih cepat (penjualan meningkat, red),” tambahnya.
Untuk itu, Gaikindo pun mengimbau para pelaku usaha di sektor otomotif segera masuk ke pasar mobil listrik di Indonesia dan memproduksi kendaraan listrik di Tanah Air. ”Dengan ini kami akan mengimbau para anggota Gaikindo, perusahan-perusahaan yang belum produksi mobil listrik di Indonesia untuk segera mengalihkan produksinya di Indonesia,” beber Nangoi.
Insentif yang masih digodok dan ditargetkan dapat rampung di Juni 2023 tersebut sempat dikhawatirkan membuat masyarakat menunda pembelian mobil listrik. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa memang akan ada potensi beberapa calon pembeli lebih menahan diri sebelum aturan tersebut resmi dikeluarkan. Namun, ia menjamin hal tersebut nantinya bakal menguntungkan pabrikan. ”Saya sampaikan kepada mereka (pabrikan otomotif, red), nanti once kebijakan tersebut keluar, kalian akan panen luar biasa,” tegasnya.
Menurut Agus, fenomena tersebut mirip ketika pihaknya menyiapkan aturan PPnBM di tengah lesunya pembelian mobil saat Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19 yang parah. “Ingat tidak waktu kita akan keluarkan PPnBM, market hold (menahan pembelian, red), itu juga bagian dari test market,” bebernya.
Hal tersebut pernah diamini oleh PT Hyundai Motors Indonesia (HMID) yang menegaskan bahwa adanya wacana subsidi kendaraan listrik tidak lantas membuat konsumen menunda pembelian mobil listrik andalannya yakni Ioniq 5.
Chief Operating Officer PT Hyundai Motors Indonesia (HMID) Makmur mengatakan bahwa isu subsidi kendaraan listrik sejauh ini tidak berpengaruh terhadap penjualan Ioniq 5.
”Dari pengamatan kami untuk Ioniq 5 tidak ada yang menunda pembelian. Jadi memang konsumen tidak terlalu berpengaruh dengan adanya wacana ini. Kami apresiasi kebijakan pemerintah dan kami masih menunggu keputusan detail dari peraturannya,” ujarnya.
Insentif untuk kendaraan listrik memang sudah digembar-gemborkan pemerintah sejak akhir tahun lalu. Ada Rp5 triliun dana yang disiapkan. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno pun mengkritisi. Menurutnya, daripada fokus pada insentif untuk kendaraan listrik, lebih baik perbaiki transporasi umum dan mobilitas di daerah tertinggal.
“Sesungguhnya kebijakan yang tengah diformulasikan pemerintah saat ini masih kurang tepat, karena bisa menimbulkan masalah baru seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas,” kata Djoko.
Menurutnya, masyarakat tidak akan banyak beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Jika dugaannya ini benar justru akan menambah jumlah kendaraan di jalan. “Jika diberikan ke kendaraan umum, macet, polusi dan kecelakaan akan teratasi sekaligus,” ujarnya.
Bisa saja insentif ini diberikan ke bus listrik yang digunakan untuk angkutan umum. Jika ini dilakukan pemerintah, ibarat sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Masyarakat didorong menggunakan angkutan umum dan kendaraan pribadi bisa dikurangi.
Bus listrik bisa dipesan dalam negeri. PT INKA di Madiun memproduksinya. Produknya kerjasama dari berbagai pihak misalnya perusahaan karoseri Piala Mas dan beberapa perguruan tinggi seperti ITS dan UGM. “Sudah digunakan selama perhelatan G20 di Bali,” tutur dosen Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu.
Selesai acara G20, armada bus disebar ke Denpasar, Surabaya, dan Bandung. Dengan bukti ini seharusnya bus listrik bikinan Tanah Air bisa diproduksi lagi. “Bus listrik bikinan PT INKA dapat diproduksi lagi untuk menambah jumlah kota membenahi transportasi umum perkotaan,” ujarnya.
Jika ingin mensubsidi kendaraan listrik yang digunakan secara pribadi, Djoko menyarankan agar subsidi diberikan di daerah 3T. Dia mencontohkan Kota Agats, Kabupaten Asmat yang sudah menggunakan kendaraan listrik dalam mobilitasnya sejak 2007.
“Alasannya, distrik ini kesulitan mendapatkan BBM dan kondisi jaringan jalan yang tidak lebar seperti jalan pada umummnya. Lebar jalannya rata-rata 4 meter dan dibangun di atas rawa,” ungkapnya.
Mengingat, distribusi BBM di Agats ongkosnya mahal. Sehingga kendaraan listrik lebih baik digunakan di sini. “Dengan memberikan subsidi pada kendaraan listrik di daerah 3 T, nantinya bisa berfokus pada perbaikan infrastruktur listrik yang tersedia,” ungkapnya.
Ini tentu menjadi dua keuntungan yang bisa diraih dari satu upaya. Ketergantungan BBM bisa dikurangi dan masyarakat dapat merasakan fasilitas listrik yang baik.(han/agf/lyn/jpg)