JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 memproyeksi ekonomi kawasan tumbuh 4,6 persen tahun ini. Lebih tinggi dari 2022 sebesar 3,2 persen. Namun, harus tetap waspada terhadap risiko dan tantangan ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, gejolak sektor perbankan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa memiliki dampak rambatan yang terbatas di kawasan. Pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 yang lebih tinggi tahun ini dipacu oleh permintaan domestik yang kuat. "Karena pemulihan ekonomi terus menunjukkan perbaikan," kata perempuan yang akrab disapa Ani itu, Rabu (3/5).
Dalam kesempatan itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyoroti, tantangan saat ini. Khususnya, ketergantungan yang besar pada mata uang dominan tertentu untuk perdagangan internasional dan investasi. Hal itu dinilai dapat meningkatkan kerentanan dan meningkatkan risiko stabilitas keuangan di ASEAN+3.
Oleh karena itu, perlu ada inovasi untuk menjaga stabilitas. Mengingat, saat ini inflasi masih tinggi, kondisi likuiditas yang lebih ketat, ruang kebijakan yang lebih sempit, dan pengaruh kuat dolar AS. Maka, penting memperkuat dan meningkatkan kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3. Terutama, konektivitas pembayaran dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk transaksi.
“AFMGM+3 menyambut baik dan mengakui perkembangan kajian sistem pembayaran lintas batas di ASEAN+3, khususnya mengenai penguatan transaksi mata uang lokal atau local currency transactions (LCT)," ujarnya.
Forum, lanjut Perry, menyadari bahwa prospek pertumbuhan jangka panjang untuk ASEAN bergantung pada cara mengelola risiko. Yakni terkait dengan kemungkinan pandemi, perubahan iklim di masa depan, serta bencana alam yang lebih sering dan parah. Dengan mempertimbangkan itu, Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 mengakui pentingnya kolaborasi agar pemulihan kuat dan inklusif. (han/dio/jpg)