Menarik Investasi Hijau Terkendala PLTU Kawasan Industri

Ekonomi-Bisnis | Selasa, 02 Mei 2023 - 11:27 WIB

Menarik Investasi Hijau Terkendala PLTU Kawasan Industri
Sisa abu pembakaran batubara atau disebut Fly Ash Bottom Ash (FABA) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). (JPG/RIAUPOS.CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Di depan para investor Jerman pada pembukaan Hannover Messe, pertengahan April 2023 lalu, Presiden RI Joko Widodo sempat menyatakan bakal menutup seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara pada 2025. Yang kemudian diklarifikasi menjadi 2050. Terlepas dari revisi itu, disaat yang bersamaan pemerintah nyatanya masih mengizinkan pembangunan PLTU batubara yang bersifat captive di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Atinna Rizqiana mengatakan, sebagai gambaran proyek KIHI akan berlokasi di tiga desa di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Tanah Kuning, Mangkupadi dan Binai. Proyek ini berawal dari ambisi tahun 2015 untuk menjadikan Bulungan sebagai kawasan industri hilir dan pelabuhan industri terbesar di Indonesia.


Pada 2022, bersamaan dengan pengumuman dukungan program Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp314 triliun). Kawasan yang tadinya disebut kawasan industri dan pelabuhan Indonesia, berubah rupa menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia.

Saat ini KIHI sedang melalui tahap awal proses perencanaan. Dari 30 ribu Ha total lahan, baru 9.500 hektare luas lahan yang siap dikembangkan melalui wewenang PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (PT KIPI). Melalui data ANDAL 2021, diketahui akan terdapat dua zona di dalamnya. Yakni Blue Zone (Zona Biru) dan Green Zone (Zona Hijau).

Dalam keterangan, Zona Biru dinyatakan sebagai kawasan yang masih disokong oleh pembangkit batubara. Area Zona Hijau akan memiliki luasan sebesar 2.196,56 hektare. Sedangkan, Zona Biru sebesar 3.910,41 hektare atau hampir dua kali lipat dari luasan zona hijau.

Kontradiksi terkait pembangunan kawasan industri hijau tak sampai di situ. Salah satu perusahaan swasta yang bergerak di pertambangan batubara menjadi pemain utama dengan proyek smelter aluminium senilai 728 juta dolar AS di KIHI. Sementara perusahaan Cina, Tshingshan diberitakan siap mengeluarkan dana 28 miliar dolar AS untuk pembangunan smelter nikel. Kedua perusahaan itu tidak luput dari kontroversi. Para pemain di sektor hilirisasi mineral tersebut selama ini memiliki reputasi yang buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Rizqiana menyoroti pernyataan menarik dari Hannover juga terjadi saat Presiden Jokowi sempat menyatakan bahwa pada tahun 2023 jumlah energi terbarukan di Indonesia berada di titik 23 persen. Angka ini merujuk pada target bauran energi baru terbarukan (EBT) di tahun.

"Kenyataannya, pada tahun 2023 bauran EBT tercatat baru mencapai 13 persen atau hanya naik 1,5 persen dari jumlah bauran energi terbarukan dua tahun sebelumnya. Secara realistis patut kita bertanya, apakah mungkin dalam dua tahun ke depan (2025) peningkatan 10 persen porsi EBT mampu kita capai?" kata pria yang akrab disapa Kiki itu.

Selain masalah target bauran EBT yang tidak sinkron dengan kondisi ideal, upaya untuk melakukan penutupan total PLTU juga dipertanyakan. Buktinya, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN masih menargetkan penambahan kapasitas PLTU sebesar 13,8 GW. Ditambah lagi adanya beberapa PLTU captive yang akan dibangun secara serentak di berbagai wilayah smelter nikel dan aluminium seperti di Morowali, Weda Bay, hingga Kalimantan Utara.

Maka dari itu, sebelum berbicara soal walk the talk seperti semangat Presiden Jokowi di Hannover Messe, ada baiknya mempertanyakan dulu kesungguhan komitmen pemerintah. "Karena bagaimana mungkin pengembangan ekonomi hijau yang katanya berkeadilan, dilakukan dengan mempertaruhkan kelestarian lingkungan dan masyarakat disekitar proyek?" ucap Kiki.(jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook