"Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2017. Konvensi ini mendorong Indonesia untuk melakukan pengurangan maupun pemusnahan (phase-out) merkuri dan turunannya yang digunakan, emisi, dan lepasannya ke lingkungan pada pertambangan emas skala kecil", ucap Sayid Muhadhar, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3), dalam kesempatan mewakili Direktur Jenderal PSLB3 pada acara Inception Workshop GOLD-ISMIA, Selasa (26/03/2019) di Jakarta.
Proyek 5 (lima) tahun ini akan mendukung pembatasan merkuri pada komunitas penambang rakyat di provinsi Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Riau. Penggunaan merkuri di enam komunitas PESK diperkirakan akan dibatasi sedikitnya lima metrik ton per tahun, melalui pengadaan teknologi pemrosesan bebas merkuri, bimbingan teknologi dan alih teknologi untuk mendukung formalisasi PESK.
Terkait teknologi pengolahan emas, dikatakan Dadan Nurjaman, Direktur Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral BPPT bahwa setiap tipe emas perlu penerapan teknologi yang berbeda. Namun yang terbaik adalah dengan teknik gravitasi karena tidak menggunakan bahan kimia. "Paling tidak ada ada dua tipe emas, yaitu primer dan sekunder. Untuk tipe emas sekunder (ukurannya lumayan kasar) bisa dengan teknik gravitasi, sementara untuk emas primer (emas di bebatuan), dapat menggunakan teknologi bleaching yang murah dengan beberapa bahan kimia yang lebih aman antara lain sianida, dimana dapat didestruksi secara cepat dan tailing-nya bisa dikelola sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan", jelas Dadan.
Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) di Indonesia tersebar di 58 Kabupaten/Kota di 23 Provinsi, diperkirakan terdapat lebih dari 2.500 lokasi PESK yang beroperasi secara aktif. Dalam rangka penghapusan merkuri, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan meliputi penguatan peraturan, kebijakan dan kelembagaan nasional, pembangunan fasilitas pengolahan emas non-merkuri serta alih mata pencaharian bagi para penambang. Khusus terkait upaya alih mata pencaharian di wilayah pertambangan emas berskala kecil, pemerintah tengah membangun model-model transformasi sosial dan ekonomi (transosek) di wilayah PESK yang dilakukan secara partisipatif.
"Kebanyakan dari kita tidak menyadari risiko penambangan emas. Proyek ini akan mendukung ribuan komunitas penambang rakyat di Indonesia untuk mendapat kondisi hidup yang lebih layak, sementara pada saat yang sama mengakhiri dampak kesehatan dan lingkungan yang disebabkan merkuri," ungkap Christophe Bahuet, Resident Representative UNDP Indonesia.
Merkuri, juga dikenal sebagai air raksa/quicksilver, adalah logam putih keperakan yang sangat beracun yang cair pada suhu ruangan dan mudah menguap. Menurut Program Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang Lingkungan (UNEP), begitu dilepaskan, merkuri dapat menjangkau jarak yang jauh dan bertahan di lingkungan serta bersirkulasi dengan udara, air, tanah dan organisme hidup. Paparan merkuri yang tinggi merupakan risiko serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Organisasi PBB di bidang lingkungan Hidup, UN Environment, menyatakan bahwa setiap tahun setidaknya 9.000 ton merkuri lepas ke atmosfer, air maupun tanah. Dalam kehidupan sehari-hari, merkuri banyak ditemukan dalam alat kesehatan (termometer), amalgam gigi, baterai, kosmetik, lampu fluorescent, dan lain lain. Melalui workshop ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar, dalam merumuskan strategi tindak lanjut pengelolaan dan penanganan merkuri di Indonesia.(adv)