SAWIT RIAU: HARMONISASI KEBERAGAMAN DAN KESEJAHTERAAN INDONESIA

Dulu Susah Makan, Kini Jadi Jutawan

Siak | Kamis, 27 Februari 2020 - 09:44 WIB

Dulu Susah Makan, Kini Jadi Jutawan
H Muhammad Handoko bersama dua cucunya di lahan per­ke­­bunan sawit miliknya, beberapa waktu lalu. (Lismar Sumirat/riau pos)

Cerita sukses perantau berkebun sawit juga memotivasi masyarakat asli tempatan. Darwis (68), salah seorang warga Buatan II, Kecamatan Koto Gasib, Siak yang kini memilih menjadi petani sawit. "Dulu sempat ditawarkan agar ikut program transmigrasi supaya dapat bantuan kebun kelapa sawit dari pemerintah. Tapi ditolak karena tak paham sawit. Setelah tahu baru menyesal, harusnya dulu diambil saja," ujar bapak lima anak ini.

Laki-laki bersuku Melayu ini, memiliki kebun kelapa sawit seluas 20 hektare di Kampung Pangkalan Pisang. Sebagian kebunnya ditanam sendiri sejak tahun 1994. Sebagian lagi diperoleh dengan membeli lahan sawit masyarakat. "Kalau tidak musim trek, sekali panen bisa dapat 10-12 ton. Alhamdulilah hasil panen sawit bisa untuk keperluan sehari-hari dan biaya sekolah anak. Seluruh anak sudah sarjana," katanya.


Luas Kebun Belum Sebanding Produktivitas Kelapa Sawit

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Riau terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau hingga 2018, di Provinsi Riau terdapat 2.489.957 hektare perkebunan kelapa sawit. Terdiri 1.434.213 hektare perkebunan rakyat (PR), 78.332 hektare kebun perusahaan besar negara (PBN) dan 977.411 hektare perusahaan besar swasta (PBS). Siak (232.280 hektare), Kampar (225.916 hektare) dan Rokan Hulu (210.873 hektare) sebagai daerah tiga besar terluas perkebunan kelapa sawit se-Riau. Disusul Rokan Hilir 193.781 hektare, Bengkalis 148.283 hektare, Pelalawan 137.246 hektare, Indragiri Hilir 108.777 hektare, Kuantan Singingi 77.275 hektare, Indragiri Hulu 56.885 hektare, Dumai 38.350 hektare dan Pekanbaru 4.149 hektare. Sementara untuk jumlah produksi CPO tercatat 7.683.535 ton. Terdiri 3.961.292 ton PR, 457.295 ton PBN dan 3.264.947 ton PBS. (Lihat Tabel Luas Areal, produksi dan KK serta Produktivitas Perkebunan Sawit Tahun 2018).

"Potensi sawit Riau sangat besar. Bahkan untuk nasional, luas sawit Riau nomor satu," kata Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Dr Ir Sri Ambar Kusumawati MSi, Selasa (25/2).

Luasnya lahan, belum sebanding dengan produktivitas kelapa sawit dibandingkan dengan potensi produksi. Tahun 2018 jumlah produksi minyak mentah sawit (CPO) 7.683.535 ton. (Lihat Tabel Luas dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau Tahun 2014-2018). "Rata-rata produktivitas kelapa sawit tahun 2016-2018, produksi CPO 3,59 ton per hektare. Sedangkan di Malaysia, rata-rata produktivitas tahun yang sama, produksi CPO bisa mencapai 4,5 ton per hektare. Produksi CPO masih bisa lebih digenjot menjadi 6-8 ton per hektare," jelasnya.

Masih rendahnya produktivitas akan berpengaruh pada produksi tanaman. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas perkebunan. Di antaranya, kebun dengan kondisi tanaman tua dan rusak (TTR) cukup luas. Belum optimalnya penggunaan benih unggul bermutu/bersertifikat serta sarana produksi lainnya. Kurang tersedianya benih bermutu di masyarakat juga masih menjadi hambatan. Selain itu, belum terpenuhinya standar populasi tanaman per hektare. Dukungan penerapan teknologi budidaya yang rendah. Terbatasnya SDM petani dan petugas lapangan. Budaya dan perilaku petani lokal yang tidak kompetitif serta perubahan iklim. Musim kemarau, bencana kabut asap juga mempengaruhi produksi sawit. "Masa trek buah sawit bisa lama dan ini sangat merugikan petani," jelasnya.

Perkebunan kelapa sawit disokong banyaknya industri Pengolahan Kelapa Sawit (PKS). Di Riau tercatat 227 unit PKS yang siap menampung tandan buah segar (TBS) sawit dari petani. Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya Kepulauan Meranti yang tidak ada PKS dan daerah ini juga tidak ada kebun kelapa sawitnya. PKS terbanyak di Rokan Hulu (38 PKS), Rokan Hilir dan Kampar masing-masing 37 PKS, Pelalawan (35 PKS ), Indragiri Hilir dan Siak masing-masing 29 PKS. Indragiri Hulu (24 PKS), Kuansing 22 (PKS). Pekanbaru (2 PKS) dan Dumai (2 PKS).

"Untuk harga TBS, masih fluktuasi. Rata-rata harga TBS umur tanam 10-20 tahun untuk 2015 harga TBS Rp1.490,46 per kilogram, Rp1.815,97 per kilogram (2016), Rp1949,92 per kilogram (2017), Rp1.663,08 per kilogram (2018) dan 2019 harga TBS 1.525,58 per kilogram. Kita berharap harga TBS bisa bagus kembali seperti tahun 2017. Semakin tinggi harga TBS tentu semakin meningkat kesejahteraan petani," ucapnya.

Dorong ISPO untuk Sawit Berkelanjutan

Untuk meningkatkan daya saing kelapa sawit Riau di kancah internasional, Dinas Perkebunan Provinsi Riau mendorong perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Negeri Lancang Kuning untuk memiliki sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan mandatory (wajib) bagi industri kelapa sawit berkelanjutan nasional. Sedangkan petani yang masih bersifat volunteer (sukarela) juga didorong untuk memiliki sertifikat tersebut.

"Isu-isu dan kampanye negatif di luar negeri sangat banyak. Mulai isu kesehatan, anti-dumping dan isu lingkungan yang masih mendominasi. Upaya mitigasi dan strategi terhadap isu-isu negatif tersebut, mulai tahun 2008 kita aktif di RSPO. Tahun 2011 pemerintah secara mandiri menetapkan kebijakan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dengan mewajibkan perusahaan perkebunan memiliki sertifikat ISPO," ujar Ambar.

Sertifikasi ISPO merupakan pengakuan standar kinerja bahwa perusahaan perkebunan telah mengelola perkebunan dengan mempedomani prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Yaitu keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Proses sertifikasi ISPO dilaksanakan lembaga sertifikasi ISPO independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan persetujuan Komisi ISPO.

Ambar bersyukur, jumlah perusahaan perkebunan penerima sertifikat ISPO di Riau terus bertambah. Dari 272 perusahaan perkebunan, setidaknya 114 perusahaan sudah memiliki sertifikat ISPO. Sedangkan petani yang sudah meraih sertifikat ISPO, ada 4 kelompok tani. Provinsi Riau terpilih sebagai salah satu daerah percontohan sertifikasi ISPO.

"Kami supporting ke petani untuk dapat sertifikat ISPO dengan pendataan perkebun rakyat, mendorong petani mengurus STDB, serta pelatihan ke petani. Ini menjadi bukti komitmen pemerintah di pusat dan daerah untuk memastikan produksi sawit petani swadaya memenuhi standar global," sebutnya.

Gapki Siap Bermitra dengan Petani Sawit

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau memprediksikan industri kelapa sawit akan terus tumbuh dan berkembang. Produksi kelapa sawit berpeluang sebagai bahan baku energi utama masa depan. Ini sejalan dengan implementasi biodisel 30 persen (B30) yang dilakukan pemerintah. Kebijakan ini bukan saja menghemat devisi negara, namun juga akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Wakil Ketua Gapki Riau, Rafmen menyebutkan, kebijakan pemerintah memperbesar volume bauran biodisel dalam solar mulai Januari 2020 ini merupakan langkah yang tepat. Jika tidak dimulai menggunakan CPO dan masih tergantung banyak dengan luar negeri, maka akan mengancam keberlanjutan industri sawit.

"Pemanfaatan biodisel 30 persen akan berkontribusi bagi peningkatan kesejateraan petani sawit Riau. Di mana 50 persen lebih populasi kebun sawit di Riau adalah kebun petani. Peluang industri sawit, sekarang dan masa akan datang sangat menjanjikan," ujarnya, Rabu (26/2).

Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengatakan, Gapki Riau sangat konsen terhadap pertumbuhan dan perkembangan sawit di Bumi Lancang Kuning. Ini sejalan dengan visi Gapki, mewujudkan industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan sebagai sumber kesejahteraan.

Perkebunan kepala sawit di Riau merupakan terluas se-Indonesia atau 20 persen dari luas total perkebunan sawit nasional. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Kementan RI, luas kebun sawit di Riau hingga Oktober 2019 mencapai 3,3 juta hektare lebih. Lebih 50 persen adalah perkebunan kelapa sawit masyarakat atau sekitar 1,8 juta hektare.

"Di Riau dikenal 3 asosiasi yakni Aspekpir yang membawahi kebun plasma, Apkasindo dan Samade yang membawahi kebun swadaya masyarakat. Di sinilah peran perusahaan untuk merangkul petani swadaya dalam bentuk program kemitraan. Tentu harus mendapat dukungan pemerintah, sehingga terjadi transfer teknologi dari perusahaan mitra kepada petani binaannya. Harapannya isu utama kebun swadaya yang kualitas produktivitas rendah kebun sawit masih rendah bisa tetap diatasi," sebutnya pria kelahiran Pariaman, 14 Juni 1963.

Gapki Riau membuka diri bermitra dengan kebun rakyat. Bahkan, beberapa waktu lalu, sudah ada MoU terkait kemitraan dengan kelembagaan petani. Beberapa perusahaan tersebut sudah melakukan kemitraan.

Dalam program kemitraan, perusahaan sangat mengharapkan dukungan dan bantuan pihak pemerintah. Apalagi lokasi kebun swadaya cenderung terpencar dan belum ada pendataan yang lebih lengkap mengenai keberadaan kebun swadaya. "Perlu pendataan keberadaan kebun swadaya oleh pemerintah daerah. Dilanjutkan dengan zonasi, artinya mengelompokkan/klasteriasasi berdasarkan zona. Setelah itu baru melakukan MoU kemitraan," jelasnya.

Ia memaparkan, ada lima kunci suksesnya kemitraan. Pertama, bibit yang digunakan harus unggul. Kedua, kebun dikelola best management practices (BMP) yang benar. Petani dibina oleh tim pembina yang punya dedikasi tinggi bagi perusahaan mitra maupun pemerintah, Ketiga, perlunya pendampingan, pemberdayaan dan pelatihan secara rutin. Keempat, petani swadaya harus diawasi kelembagaan petani yang kuat, berupa koperasi, KUD, Gapoktan ataupun asosiasi lainnya. Kelima, perlunya kepastian pasar dengan harga yang fair dan pembayaran tepat waktu.

Multiplier Effect

Tidak bisa dipungkiri, perkebunan kelapa sawit memang berperan sangat penting dalam nasional dan daerah. Kelapa sawit sebagai penyumbang devisa negara terbesar. Bahkan melampaui minyak dan gas, dalam tiga tahun terakhir.

Pengamat ekonomi Universitas Riau Dr Edyanus Herman Halim MS memaparkan, perkebunan kelapa sawit terbukti berdampak pengganda (multiplier effect) yang sangat besar bagi pendapatan devisa negara maupun menggerakkan ekonomi suatu daerah dan masyarakat. Dengan luasnya kebun sawit, banyaknya masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada perkebunan kelapa sawit. "Naik turunnya harga sawit akan berpengaruh pada naik turunnya pendapatan masyarakat terutama yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Nantinya berdampak pada daya beli masyarakat. Bila daya beli masyarakat perkebunan sawit melemah akan berpengaruh pada sektor lain seperti perdagangan, hotel dan restoran, jasa perbengkelan, transportasi dan sektor terkait lainnya," sebut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau ini.

Industri kelapa sawit bukan saja terbukti menyejahterakan petani kelapa sawit. Namun sektor perkebunan ini juga mampu menjadi perekat keberagaman berbagai suku yang hidup dan bergantung dari perkebunan kelapa sawit.***  

Laporan LISMAR SUMIRAT, Siak









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook