CERPEN - ILHAM WAHYUDI

Kematian Bang Oim

Seni Budaya | Minggu, 31 Mei 2020 - 11:07 WIB

Kami naik ke mobil ambulans itu. Aku duduk di sebelah perempuan yang tadi minta tolong. Sementara di hadapanku duduk salah seorang keluarga lelaki itu. Dan di tengah kami bertiga, lelaki itu telentang dengan mulut disungkup oksigen. Ambulans melaju kencang. Sekencang doa kami agar lelaki itu selamat.

Lelaki itu beberapa waktu yang lalu terkena serangan jantung. Dia roboh persis di depan sebuah warung makan. Orang-orang yang ada di warung makan itu tak satu pun yang peduli. Sebab sesaat setelah dia roboh, seorang pria dengan setengah berteriak mengatakan lelaki itu terkena virus corona. Virus yang tengah mewabah belakangan ini. Sontak saja semua orang di warung makan itu menjadi takut ketika ingin menolong lelaki itu. Malah ada yang langsung kabur meninggalkan warung makan itu.

Baca Juga : Gagal Mandi

Lumayan lama lelaki itu dibiarkan telungkup di depan warung makan itu. Sampai akhirnya perempuan yang duduk di sebelahku ini lewat dan melihat lelaki itu menjadi tontonan. Tak tega melihatnya, perempuan itu berusaha memindahkan lelaki itu ke pinggir warung. Ia pun meminta tolong. Namun mereka semua tetap saja tak mau menolong.

Aku lewat di depan warung makan itu dan mendengar suara perempuan minta tolong. Aku pun berhenti. Kulihat perempuan itu susah payah mencoba mengangkat lelaki itu.

“Kok cuma dilihat? Ayo dibantu!” kataku kepada kerumunan orang yang sedang menonton.

“Biarkan saja! Biar jadi urusan polisi!” jawab salah seorang yang sedang menonton. Mereka bergeming.

Baca Juga : De Javu

Aku pun menggotong lelaki itu bersama perempuan itu ke pinggir warung makan. Tak lama salah seorang keluarga lelaki itu datang. Begitu juga dengan mobil ambulans. Dibantu sopir ambulans kami angkat lelaki itu ke dalam mobil ambulans.

 ¤ ¤ ¤

Namanya Rohiman. Tapi di gang tempat tinggalnya, anak-anak dan orang dewasa memanggilnya Bang Oim. Usianya nyaris 50 tahun. Perawakannya lumayan menyeramkan, sebab cambang dan misainya lebat tak beraturan. Kulitnya yang gelap dan badannya yang tinggi kekar semakin melekatkan kesan seram itu padanya. Sehingga membuat anak-anak di gang itu takut bila dia sedang “kumat”. Padahal kalau tidak “kumat” Bang Oim adalah sosok yang sangat menyenangkan dan baik kepada anak-anak kecil.

Sudah sejak lahir Bang Oim tinggal di gang itu. Orang tua dan saudara kandungnya juga tinggal di gang itu. Selepas menikah sampai anaknya berusia 5 tahun, Bang Oim sempat mengontrak sepetak rumah di gang itu. Namun semenjak ditinggal istrinya, dia menumpang di rumah orang tuanya bersama keluarga adiknya.

Kasihan Bang Oim. Istrinya memilih kabur lantaran dia tak punya pekerjaan tetap setelah berhenti kerja dari sebuah LSM. Bang Oim sebenarnya bukan tanpa alasan berhenti kerja. Bosan! Ya, dia sudah bosan berkonflik dengan rekan kerja dan atasannya karena sering berbeda pendapat. Bang Oim orangnya memang terlampau lurus. Jadi susah untuk diajak sedikit bengkok. Hal itu membuatnya tak disukai rekan kerjanya. Bosan terus berkonflik, dia pun memutuskan berhenti kerja.

Berbekal uang tabungan saat bekerja dulu, Bang Oim mantap banting setir menjadi pengusaha. Tetapi usahanya selalu gagal. Bagaimana tidak gagal. Bang Oim terlampau baik dan terlampau sungkan menagih hutang. Wajar kalau akhirnya warung kelontong dan kedai buahnya tutup akibat melulu kena utang pembeli. Imbasnya dia jadi sering bertengkar dengan istrinya.

Jika Bang Oim memiliki sifat yang terlampau baik, istrinya malah kebalikkan dari Bang Oim. Ia adalah tipe perempuan yang memiliki tingkat kecemasan teramat tinggi. Terutama perihal masa depan. Ia takut dirinya dan anaknya tak mendapatkan kehidupan yang layak. Padahal sebagai suami, Bang Oim bukan tak berusaha memberi nafkah yang layak kepada keluarga kecilnya itu.     Lelah hidup serba pas-pasan, maka pada suatu dini hari setelah menimbang untung dan rugi, istri Bang Oim kabur membawa anak semata wayang mereka. Bang Oim pun mulai sering melamun sendiri.

Dan bukan hanya melamun. Lambat laun Bang Oim sering pula terlihat berbicara sendiri. Semenjak itu, orang-orang pun menganggap Bang Oim gila. Semakin lama ditinggal istri serta anaknya, kegilaan Bang Oim juga semakin menjadi. Kalau awalnya hanya melamun dan berbicara sendiri, beberapa tahun belakangan dia sudah mulai pula melakukan hal-hal yang menjijikkan.

Hal yang menjijikkan? Benar. Bang Oim sering terlihat berendam di parit yang kotor dan beberapa kali kedapatan sedang memakan hewan liar mentah-mentah. Seperti kadal, kodok, dan pernah juga ular. Awalnya orang hanya jijik belaka tatkala melihatnya memakan hewan liar itu. Namun akhir-akhir ini warga di gang itu mulai takut dengan kesehatan Bang Oim lantaran merebaknya virus corona.  

Berbeda dengan warga di gang itu, ponakan Bang Oim—yang bersamaku mengantarkan Bang Oim ke rumah sakit—tak sedikit pun merasa takut pamannya terkena corona. Ia juga tak pernah menganggap pamannya itu gila. Menurutnya, Bang Oim melakukan itu semua hanya gara-gara stres saja. Sebab tidak setiap waktu Bang Oim bertingkah “gila” alias kumat. Lagi pula Bang Oim masih mau bekerja layaknya orang normal. Bahkan hasil kerjanya pun terbilang bagus. Buktinya dia sering diajak kerja oleh warga. Meskipun hanya pekerjaan serabutan tentunya.

“Paman saya seperti itu hanya saat kumat saja. Dan itu juga di bulan-bulan tertentu. Biasanya satu atau dua bulan paman saya akan kembali normal. Itu makanya keluarga tak pernah mengirim paman saya ke rumah sakit jiwa,” kata ponakan Bang Oim.

“Memangnya ada apa dengan bulan itu, Mas?” tanyaku penasaran pada ponakan Bang Oim.

“Itu bulan pernikahan paman saya dan bulan kelahiran anak paman saya,” jawab ponakan Bang Oim.

Sekarang aku paham mengapa mereka tak mau menolong Bang Oim.

“Jadi hanya karena Bang Oim pernah makan hewan liar, orang-orang di warung itu tak ada yang mau menolongnya, Mas?” tanyaku memastikan.

“Mungkin, Mas. Tapi menurut saya mereka berlebihan, sebab virus itu baru belakangan ini muncul. Sedangkan peristiwa itu sudah lama sekali terjadi. Paman saya juga tidak pernah sakit setelah itu,” jawab ponakan Bang Oim.

“Sampai hati mereka. Seharusnya merekalah yang disebut gila,” kata perempuan itu geram. Kami pun kemudian hening.

¤ ¤ ¤

Di rumah sakit Bang Oim langsung mendapatkan pertolongan intensif. Dia langsung masuk ke ruang IGD. Aku, perempuan itu, dan ponakan Bang Oim menunggu di luar.

Tak lama dokter datang menghampiri kami. Kulihat wajahnya keruh. Tuhan, alamat apakah ini?

“Bisa bicara dengan keluarga pasien,” kata dokter itu.

“Ya saya, Dok,” jawab ponakan Bang Oim.

“Maaf, Mas. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun beliau tak tertolong,” kata dokter itu penuh penyesalan. Kulihat ponakan Bang Oim menangis. Kesedihan begitu kentara dari raut wajahnya. Perempuan yang bersamaku itu juga tanpa sadar meneteskan air mata.

“Sabar, Mas. Apa yang bisa kami bantu, Mas?” kataku coba menawarkan bantuan.

“Iya, Mas. Katakan saja apa yang bisa kami bantu,” timpal perempuan itu pula sambil menyeka air matanya.

Ponakan Bang Oim coba menenangkan dirinya. Setelah menghubungi keluarganya, ia pun menghampiri kami.

“Mas, Mbak, saya minta tolong setelah persoalan administrasi saya selesaikan, mohon bawa jenazah paman saya pulang ke rumah. Saya mau urus tempat pemakaman paman saya dan mengabarkan beberapa saudara saya yang lain. Paman saya akan dimakamkan hari ini juga selepas Salat Asar.”

“Baik, Mas,” serentak kami menjawab.

¤ ¤ ¤

Akhirnya jenazah Bang Oim sampai di rumah duka. Bendera tanda dukacita dan tenda kemalangan sudah terpasang rapi. Ramai sekali orang yang melayat Bang Oim. Aneh, pikirku. Bukankah tadi tak satu pun mereka mau membantu Bang Oim? Maksudku mereka di warung makan itu. Apa mungkin mereka sudah sadar dan menyesal? Mungkin!

Aku dan perempuan itu izin pamit kepada keluarga Bang Oim. Perwakilan keluarga mengucapkan banyak sekali terima kasih kepada kami berdua. Kami membalasnya dengan ucapan maaf karena tak bisa mengantarkan Bang Oim sampai ke pemakaman. Setelah menyalami keluarga Bang Oim, kami pun meninggalkan rumah duka.

Namun ketika sedang menunggu ojek online, azan asar berkumandang. Entah mengapa azan kali ini terasa begitu sejuk di hatiku. Sehingga mendorongku untuk ikut salat berjamaah. Aku pun akhirnya memutuskan ikut mensalatkan Bang Oim dan mengantarnya ke pemakaman.

Di musala kusaksikan kembali pemandangan yang menakjubkan. Aku pun terpana. Bang Oim yang dianggap gila oleh warga, ternyata begitu banyak yang mensalatkannya. Musala bahkan tidak muat menampung jamaah. Sehingga orang-orang yang ingin mensalatkan Bang Oim membuat saf-saf baru di luar musala. Salat jenazah pertama yang kusaksikan seperti salat hari raya.

Selesai ikut mensalatkan Bang Oim, aku mencari ponakan Bang Oim dan ikut menggotong keranda jenazah Bang Oim. Berduyun-duyun orang ikut mengantarkan jenazah Bang Oim ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Namun baru beberapa meter  rombongan bergerak dari musala, kudengar seseorang berteriak memanggil.

“Ayah…, maafkan Andi!” kata seseorang setengah berlari dari arah sampingku. Wajahnya mirip sekali dengan Bang Oim. Pasti itu anak Bang Oim, bisik batinku. Aku dan ponakan Bang Oim pun saling memandang. Rasa haru bercampur sedih memenuhi dadaku. Membuatku tak kuasa menahan air mata. Aku pun akhirnya menangis. Benar-benar hari yang ajaib. Bang Oim berhasil membuat aku menangis. Sesuatu yang sudah begitu lama tak kualami sejak kepergian ibu.

Baca Juga : Salah Kartu

Jakarta, 2020

 

ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Ia seorang kolektor diecast pesawat terbang dan penggemar berat Chelsea Football Club serta Juventus FC. Beberapa cerpennya telah dimuat koran-koran, antologi dan majalah. Buku kumpulan cerpennya Kalimance Ingin Jadi Penyair akan segera terbit..









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook