Kilau Cahaya Nujuh Likur

Seni Budaya | Minggu, 24 April 2022 - 11:43 WIB

Kilau Cahaya Nujuh Likur
Masyarakat Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru menyalakan lampu colok, baru-baru ini. (DEFIZAL/RIAU POS)

Pada pekan terakhir di Bulan Ramadan atau nujuh likur, masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir Riau umumnya, menggelar tradisi lampu colok. Kilau cahaya lampu dalam berbagai bentuk rupa ini di mulai dari tanggal 27 Ramadan hingga malam takbiran.


(RIAUPOS.CO) - INILAH tradisi turun-temurun itu. Sudah ada dan terjaga sejak dari zaman-berzaman. Diteruskan oleh masyarakat sebagai ekspresi kegembiraan menyambut Syawal dan sekaligus rasa sayang dalam melepaskan bulan Ramadan. Disebut nujuh likur karena 27 Ramadan disebut dengan tujuh likur. Di beberapa tempat, tradisi di malam-malam terakhir Ramadan itu menjadi salah satu agenda wisata Riau bahkan tiap tahun diperlombakan oleh pemerintah daerah.


Malam tujuh likur itu, ditandai dengan membuat lampu colok. Lampu colok itu sendiri dibuat dari kaleng dan botol minuman bekas dan menggunakan sumbu. Tetapi sebenarnya colok itu sama dengan pelita. Perbedaannya tidak ada, hanya penyebutannya saja. Artinya, pelita yang dinyalakan di malam tujuh likur itu disebut oleh masyarakat Melayu terutama di bagian pesisir Riau dengan sebutan colok, penyebutannya menjadi khusus oleh karena adanya tradisi tujuh likur tersebut.

Tidak hanya itu, disiapkan juga gapura di setiap simpang jalan. Colok yang jumlahnya sangat banyak, bahkan ratusan  itu ditempatkan di gapura yang telah didekor sedemikian rupa.

Dengan berbagai kreativitas para generasi muda setempat, motif gapura tersebut, biasanya menggambarkan bangunan masjid atau kaligrafi Alquran. Selain itu, colok juga di tempatkan di sepanjang pinggiran jalan, digantungkan pada tali kawat yang melintang di atas badan jalan.

Tidak ketinggalan meriahnya, di setiap rumah warga pun turut dipasang colok. Halaman rumah dipenuhi lampu colok, bertumbuhan. Kilaunya menjadi bayang dan menerangi malam menjelang Idul Fitri. Jadilah malam ke-27 Ramadan itu, seisi kampung diterangi ribuan cahaya keemasan dari lampu-lampu colok.

Malam pun kian asyik, karena di antara kemeriahan tersebut, masyarakat pun turut meramaikan dengan keluar rumah atau berkeliling kampung. Berbagai bentuk kreativitas hiasan colok tersebut menjadi tontonan menarik pula untuk diapresiasi. Anak-anak, remaja dan juga orang tua, beramai-ramai menyaksikan pesta cahaya yang diselenggarakan sampai malam takbiran.

Tokoh masyarakat Siak, Makmur, menyebutkan tradisi lampu colok ini ini memang sudah ada semenjak dahulu dan terjaga dengan baik.

“Jadi kebahagian itulah yang nak diluahkan masyarakat. Dulu tidak ada main mercun macam sekarang ini. Rasa bahagia untuk menyambut hari mulia dengan cara membuat kampung menjadi terang benderang, jadi orang-orang dahulu bersuka rialah mereka dengan cara seperti itu,” ujar Makmur.

Tradisi itu juga dahulunya disebutkan Makmur, tidak hanya memiliki nilai tradisi tetapi juga mempunyai nilai ibadah. Lampu-lampu colok yang dipasangkan di setiap rumah warga menjadi penerang bagi orang tua yang hendak beritikaf di penghujung bulan Ramadan.

”Jadi sejalan keduanya. Anak-anak main lampu colok, orang tua pergi itiqaf. Lampu ini memberi banyak manfaat. Jadi amal bagi yang membuat dan memasangnya dengan ikhlas,” jelas Makmur lagi

Festival lampu colok yang digelar setiap tahun di beberapa daerah ini mengunggulkan ciri khas kreativitas kedaerahan masing-masing. Tradisi itu terjaga dengan baik sampai hari ini, juga diiringi dengan berbagai keyakinan masyarakat setempat tentang faedah dan manfaatnya bagi masyarakat dan generasi penerus.  

Budayawan asal Bengkalis, Syaukani Al Karim memandang tradisi tujuh likur dalam beberapa sudut pandang. Ianya terlestarikan dengan baik karena bagi sebagian masyarakat menganggap 27 Ramdan itu sebagai penanda dari babak akhir di bulan suci Ramadan, dari prosesi amal yang dilakuan selama bulan Ramadan, puasa, tarawih, nuzul quran dan lainnya.

“Jadi nujuh likur menjadi penanda dari babak akhir. Ianya menjelma menjadi bentuk kegembiraan masyarakat Melayu,” jelas penyair Riau tersebut.

Dalam pandangan umum, tradisi lampu colok itu juga disebutkan untuk penerangan karena ketika dulu yang namanya kampung, gelap. Oleh karenanya diadakan penerangan agar dapat untuk mempersiapkan segala persiapan hari raya sekaligus untuk beribadah di penghujung malam di minggu terakhir bulan Ramadan.

Selain itu, tradisi nujuh likur juga kental dengan nilai-nilai moral dan spiritual, sambung Syaukani. Lampu colok seharusnya mengingatkan bahwa Ramadan segera berakhir. Maka sebagai umat Islam hendaknya lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Terlebih pada malam ganjil karena pada malam itulah diyakini masyarakat sebagai malam tibanya lailatul qodar.

Oleh karenanya, tradisi itu menjadi simbol. Dengan kata lain, ketika itu diyakini bahwa penghujung Ramadan adalah saat  umat Islam menanti atau menunggu datangnya lailatur qadar. Kata Syaukani colok menjadi simbol bagi masyarakat Melayu bahwa mereka memiliki cahaya kecil untuk menyambut cahaya besar.

“Bahwa dalam diri mereka sudah ada cahaya kecil untuk menyambut cahaya besar yakni lailatur qadar,” jelasnya.

Sehinngga pecahayaan dari lampu colok dulunya, dipasang juga di setiap rumah-rumah ibadah sampai di perigi atau kolam tempat mengambil air sembahyang. Begitu juga di setiap rumah, lampu colok dipasang sampai di samping dan belakang rumah bahkan perigi tempat mengambil air wudu.

Sastrawan asal Pelalawan, Griven H Putra, juga menjelaskan bahwa colok sebagai tradisi yang  masih terjaga sampai hari ini. Pada malam ke-27 Ramadan itu masyarakat akan membuat penerangan dengan cara membakar tempurung. Tempurung yang dikumpulkan dilubangi tengahnya kemudian disangkutkan di tiang kayu yang ketinggiannya kira-kira 2 meter.

 “Jadi kita tidak memasang colok tapi disebut dengan sejoda atau tempurung itu tadi,” ujarnya.

Sejoda itulah kemudian dipasang di setiap rumah selain obor. Dipasang juga di jalan-jalan dan di rumah-rumah ibadah karena sebagaimana keyakinan masyarakat di beberapa daerah Riau lainnya, pada malam ke-27 Ramadan itu juga diyakini malam datangnya lailatur qadar.
Pada malam itulah sebagian masyarakat melakukan aktivitas beribadah hingga sampai menjelang sahur bahkan tidak tidur. Kemeriahan dan kegembiraan menyambut datangnya malam seribu bulan itu disemarakkan dengan cahaya. Orang-orang yang melakukan ibadahpun  menjadi mudah karena penerangan tersebut.

“Jadi orang-orang ada yang tidak tidur untuk beribadah, dengan adanya penerangan tersebut menjadi mudah untuk mengambil air sembahyang di sungai, misalnya,” jelas Griven.
Disebutkan Griven juga, arang-arang dari tempurung yang sudah dibakar itu juga berguna bagi masyarakat dulunya untuk bahan menyetrika baju. Jadi tidak ada yang mubazir.

“Itu bagi masyarakat dahulu yang menyetrika pakaian menggunakan alat setrika yang masih konvensional,” tutup Griven.

Berbagai tradisi menyambut malam tujuh likur di Riau sampai hari ini akan diteruskan oleh orang-orang yang tahu menghargai adat resam Melayu supaya tidak hilang ditelan zaman. Bukan hanya di kabupaten/kota pesisir pada umumnya, colok juga bermunculan di Kota Pekanbaru, tepatnya di beberapa kawasan seperti Kecamatan Rumbai, Rumbai Pesisir, Senapelan dan beberapa lainnya.

Semarak colok di Pekanbaru ini justru sudah mulai terasa, seperti di Jalan Yos Sudarso Kecamatan Rumbai. Colok juga menjadi wisata tersendiri bagi masyarakat. Keindahan lampu colok selain untuk menjaga warisan leluhur yang syarat makna, juga menjadi hiburan yang dirindukan karena muncul hanya setahun sekali.***


Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook