NAKJIL PUISI KOMUNITAS SENI RUMAH SUNTING

Tentang Puisi dan Puasa Menjelang Senja

Seni Budaya | Minggu, 26 Mei 2019 - 11:45 WIB

Tentang Puisi dan Puasa Menjelang Senja
FOTO BERSAMA: (Dari kiri) staf Balai Bahasa, Kazzaini KS, Bambang Kariyawan, Muhammad Deputra, Drs Umar Solihkan MHum, Fakhrunnas MA Jabbar, Temol Amsal, Kunni Masrohanti, Ny. Umar Solikhan foto bersama.

Sumber inspirasi, lanjut Tata, tidak boleh kering sehingga karya yang dilahirkan juga tidak akan hilang. ‘’Nah, salah stau sumber inspirasi itu salah satunya dengan banyak melihat dan merasa. Ini bisa dilakukan dengan melakukan banyak perjalanan. Di Competer saya banyak belajar bagaimana menulis puisi. Di Rumah Sunting saya menemukan segudang inspirasi dengan sering melakukan perjalanan dan berliterasi hingga ke pelosok negeri,’’ sambungnya.

Sedangkan Bambang kariyawan lebih banyak berbagai tips untuk guru dan kepala sekolah bagaimana memancing minat baca dan tulis anak-anak. Diakuinya, SMA Cendana, baik guru maupun siswanya telah berkali-kali menerbitkan buku antologi puisi. Bukan hanya itu, pihaknya juga sering mendatangkan penyair ke sekolah dan menggelar diskusi bersama anak-anak.


‘’Upaya ini sebagai salah satu mendekatkan anak dengan dunia sastra. Banyak anak-anak yang tidak tahu siapa sastrawan Riau. Dengan mendatangkan sastrawan itu sendiri ke sekolah, anak-anak jadi tahu secara langsung,’’ ujar Bambang pula.

Dilengkapi dengan Bedah Buku

Di hari kedua Nakjil Puisi, Rumah Sunting menghadirkan nara sumber dan audiens yang berbeda. Jika hari pertama audiensnya pelajar, guru dan kepala sekolah. Di hari kedua yakni komunitas sastra, pegiat literasi, penyair dan seniman. Juga dihadiri puluhan duta bahasa Riau an Bujang Dara Pekanbaru. Bahkan mereka datang lengkap dengan uniform resmi. Selain itu juga dihadiri pegiat lingkungan karena bagi Rumah Sunting, puisi dan sastra adalah milik semua orang dari berbagai latarbelakang profesi.

‘’Kami juga mengundang teman-teman pegiat lingkungan pada hari kedua Nakjil Puisi. Ada Walhi, LPE Riau, Jikalahari dan lainnya. Mengapa, karena puisi juga menyentuh banyak hal, menulis dan mewariskan tentang banyak hal termasuk tentang bagaimana merawat bumi dan tradisi. Apalagi di hari kedua ini fokusnya membahas buku puisi Calung Penyukat yang saya tulis dan isinya memang tentang tradisi serta lingkungan, tepatnya tentang Sabak Auh, Siak sekitar 35 tahun lalu. Waktu itu di sana masih banyak rimba, masih banyak tradisi yang sekarang sudah tidak ada lagi. Jejak-jejak rimba dan tradisi itu ada dalam Calung Penyukat,’’ jelas Kunni selaku pimpinan Rumah Sunting.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook