NAMUN ada mimpi di sana, ada recup harap yang tiap hari berpadu dengan arus kehidupan. Sebuah harapan akan kesejajaran dan kesetaraan untuk memperoleh kehidupan yang layak seperti layaknya seorang warga negara di republik ini.
Perjalanan dari Pekanbaru yang diperlukan untuk sampai di desa yang rata-rata ditempati suku Talang Mamak ini memakan waktu sekitar 5 jam menggunakan kendaraan roda empat. Riau Pos, berkesempatan ikut bersama rombongan dari civitas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning untuk mengunjungi beberapa tokoh masyarakat di sana pada Selasa (19/1) silam.
Untuk menuju ke Kampung Siambul, harus melewati jalan Lintas Timur menuju ke arah Provinsi Jambi. Sekitar lima sampai enam kilometer kemudian, barulah bertemu simpang dan mengambil arah ke sebuah jalan yang tidak begitu lebar. Sebuah desa bernama Siberida harus dilewati terlebih dahulu, sementara itu di sebelah kanan, terbentang memanjang sungai Batang Gansal. Semula jalan yang ditempuh berupa aspal namun kemudian sekitar dua kilometer, jalan yang dilewati hanya pengerasan hingga sampailah di Kampung Siambul.
Rombongan sampai di kampung tersebut, sekitar pukul 13:00 WIB. Rintik hujan yang menemani sepanjang perjalanan tiada hentinya hingga sampai di sebuah rumah milik Pak Nasib dan Ibu Bintang. Sebuah rumah semi permanen yang seketika itu juga keluar si pemilik rumah dengan raut sedikit terkejut. Setelah diberi penjelasan, rombongan pun kemudian disambut dengan suka cita dan langsung dipersilakan untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, buah-buahan berupa rambutan, cempedak, duku dan manggis pun terhidang sebagai penyedap sembang dan silaturahmi hari itu.
“Beginilah kampung kami dan inilah rumah kami yang tak seberapa,” ujar Pak Nasib membuka kata dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Pak Nasib sesungguhnya tak begitu sehat karena kondisi tubuhnya yang telah diduga oleh dokter mengidap penyakit paru-paru, jantung dan lambung itu tetap berusaha untuk melayani rombongan dengan cerita demi cerita.
Katanya, kampung Siambul itu dibuka sekitar tahun 1983 oleh departemen kesehatan Republik Indonesia ketika itu. Kehidupan masyarakat yang semula di dalam hutan, akhirnya hidup berkumpul bersama-sama. Ketika itu, dari sekian banyak keluarga Suku Talang Mamak, yang dapat dikumpulkan hanya sekitar 70 KK.
Selebihnya terutama bagi mereka yang tidak sudi hidup berkumpul, tetap menjalani kehidupan sebagaimana biasa, tinggal di hutan dan memanfaatkan alam sebagai pemenuhan kebutuhan hidup.
“Bagi yang tinggal berkumpul mendapat rumah bantuan, alat-alat pertanian dan perkebunan dan tanah seperempat hektar dari pemerintah,” kenangnya.
Proses pergantian pola hidup, lajut Pak Nasib tidaklah mengalami kesulitan. Karena yang berubah hanya tempat tinggal yang biasanya antara satu rumah dengan rumah yang lain berjarak sekitar dua sampai tiga kilometer, kini harus berdekatan. Sementara itu, pola hidup tetap mengharapkan kesediaan yang didapat dari alam. “Rumah bantuan pun berupa rumah panggung, tidak seperti sekarang ini. Tetapi seiring kemajuan, tidak ada lagi rumah panggung itu. Rumah masyarakat, sudah mengikuti rumah modern. Apalagi setelah masuk listrik, ada televisi, hingga warga banyak yang dilihatnya, semakin banyaklah yang berubah. Kecuali mandi, menyuci yang masih tetap di sungai,” ujarnya lagi.