Sementara itu, di tempat berbeda, Pak Teksun, mantan kepala desa yang pernah menjabat selama 43 tahun sebelah bulan juga menceritakan hal yang serupa. Kemajuan dari tahun ke tahun di Kampung Siambul tentu saja dapat dirasakan oleh masyarakat setempat.
Perubahan itu pun tidak terjadi dalam sekejap mata. Semuanya terjadi secara berangsur-angsur seiring dengan perhatian demi perhatian dari pemerintah setempat bahkan dari Republik Indonesia, terutama di pemerintahan Presiden Soeharto. Kampung yang dulunya hanya merupakan kebun karet di mana-mana, kini telah berubah menjadi sebuah pemukiman yang dihuni oleh lebih kurang 500 KK. Terdiri dari 300 KK lebih masyarakat suku Talang Mamak dan selebihnya pendatang dari Medan dan Jawa.
Teksun yang kini berusia sekitar 80 tahun lebih itu, pertama kali ikut mendata dan mengumpulkan warga yang hidup menyebar di dalam hutan sampailah akhirnya berkumpul seperti yang ada saat ini. Perubahan demi perubahan terjadi tentu saja seiring dengan kemajuan yang datang. Hanya saja, disayangkan oleh Teksun adalah kesadaran akan pentingnya pendidikan yang masih belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat.
Belum banyak anak-anak maupun orang tua yang mau bersusah payah menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang layak. Paling hanya sampai batas Sekolah Dasar (SD) ataupun Sekolah Menengah Pertama (SMP). Itu pun dikarenakan ada SD dan SMP di desa Siambul tersebut.
Mencari yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) itu susah sekali apalagi yang berkuliah, kalau pun ada hanya satu atau dua orang. Hal itu di samping persoalan kesadaran yang rendah, juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Maka tak heran, usai menamatkan pendidikan di SMP, para siswa ataupun siswi langsung mengikuti jejak orang tuanya yakni bekerja di kebun, menderes atau menoreh karet.
Sementara itu, bercerita tentang keberadaan pimpinan adat, dikatakan Teksun bahwa sistem kepemerintahan adat masih tetap terjaga di desa Siambul. Namun, tentu saja berada di bawah sistem pemerintahan desa yaitu Kepala Desa atau penghulu. Pimpinan adat hanya memfungsikan keberadaanya ketika ada upacara adat yang berlaku seperti nikah kawin, sunatan dan juga upacara kematian.
Sedangkan SD yang terdapat di desa Siambul adalah SD 005 dan SMP cabang atau kelas jauh dari SMP 1 Batang Gansal. Diceritakan salah seorang guru SD yang juga merupakan warga suku Talang Mamak, Kartini, bahwa SD yang sudah terdapat puluhan tahun di desanya itu saat ini sudah banyak menghasilkan lulusan. Artinya, keberadaan SD di kampungnya itu sangat berarti sebagai wadah pendidikan dasar bagi anak-anak suku Talang Mamak. Meskipun dengan kondisi yang sealakadarnya baik dari segi fasilitas dan tenaga pengajar, tetapi anak-anak didiknya tetap bisa mengecap pendidikan dasar selayaknya anak-anak seumuran mereka.
Kondisinya tentu berbeda ketika awal-awal tahun dibukanya sekolah tersebut. Di mana yang masuk sekolah itu tidak hanya anak-anak berumur enam atau tujuh tahun tetapi kebanyakan sudah berusia sepuluh bahkan belasan tahun. “Kalau pun sekarang ini ada juga beberapa namun tidaklah banyak. Namun demikian, tidak bisa juga dipastikan, berapa usia mereka yang mendaftar masuk sekolah SD karena kebanyakan orang tua tidak ingat juga tahun berapa anaknya dilahirkan. Yang mereka ingat, paling-paling dari hitungan tahun keberapa berladang ketika anaknya dilahirkan. Tetapi, bagi kami guru-guru, umur tidaklah penting karena sudah mau sekolah saja, itu sudah sangat berarti bagi kami,” ujar anak jati Talang Mamak yang saat ini sedang menyelesaikan S1 di Universitas Terbuka (UT) di Rengat itu.
Sementara itu, yang agak miris adalah keberadaan SMP yang didirikan sekitar dua tahun yang lalu. SMP kelas jauh dari SMP N 1 Batang Gansal. Sekolah itu didirikan atas swadaya dan pemerintah. Tetapi keberadaannya masih belum terperhatikan dengan baik. Sejak dua tahun berdiri, siswa-siswinya baru berjumlah sekitar 30 orang. Belum lagi, persoalan intinya yaitu kekurangan tenaga pengajar. Sehingga lanjut Kartini, guru yang ada di SD, diberdayakan terlebih dahulu di SMP tersebut.